Kilas Senyum-Mu

Kilas Senyum-Mu

KILAS SENYUM-MU

Oleh Revika Rachmaniar

Ini ternyata bukan tentang kita. Bukan tentang kamu yang melukai aku, bukan tentang aku yang masih bodoh menantimu. Tidak, ini tentang aku dan yang lain. Terima kasih padamu yang datang, mewarnai hidupku, lalu pergi dan melukaiku. Tanpamu, aku tidak akan sadar betapa berartinya Dia. Dia merindukan aku dan kamu menyampaikannya padaku dengan luka. Aku tetap akan bersyukur akan hadirmu.

***

“Makasih, Kak.”

Send.

“Buat?”

“Buat semuanya.”

Hanya sebuah senyuman yang dia berikan untuk membalas messenger whatsapp-ku. Bagiku, dia dan kehadirannya adalah anugrah yang Allah kirim dalam hidupku. Seseorang yang bisa memahamiku saat orang lain salah mengerti aku. Seseorang yang bisa menaklukkan egoku saat orang lain lelah dengan lakuku. Seseorang yang memiliki impian yang sama denganku saat orang lain tidak memiliki hasrat yang sama denganku.

Seseorang… yang juga menghancurkan hatiku.

“Kakak adalah anugrah dari Allah yang harus aku syukuri,” kuketik balasan sepenggal surat elektronik dengan linangan air mata. Kukirim pada seseorang yang mengirim jauh dari negeri gajah putih sana.

Laki-laki yang dahulu paling menghargaiku, kini menjadi laki-laki yang meremukkan hatiku. Dia mengakhiri segala tentang kita untuk impiannya di jauh sana. Aku pasrah. Impiannya yang terlebih dahulu menjemputnya, aku hanya orang yang datang belakangan. Pantaslah aku dicampakkannya.

Aku termenung sendiri menikmati sepi. Tidak ada lagi canda tawa yang dia kirim ke handphone-ku. Tidak ada lagi sapaan pagi yang kutunggu tiap hari. Senyap tanpa hadirmu.

“Kenapa, ya Allah?” protesku membatin, “Kau kirim dia padaku. Kau tumbuhkan rasa indah ini dalam hatiku. Lantas, Kau ambil dia lagi dariku. Maksud-Mu apa? Mau-Mu apa?”

Inilah moment itu. Moment di mana aku mempertanyakan Dia. Aku datang ke hadapan-Nya menuntut kebahagiaan yang Dia renggut dariku. Apa Dia ingin mempermainkanku?

Di atas sajadah aku mengadu. Di antara rinai tangisku aku menuntut. Sepi. Dia tidak menjawabku.

“Laki-laki yang baik untuk wanita yang baik,” sebuah kutipan kalam Illahi yang di-posting oleh seorang kawan dalam akun twitter-nya.

“Apa aku tidak cukup baik untuknya? Apa ini jawaban Allah padaku?”

Aku bercermin diri. Dari ujung kepala hingga ujung kaki kuteliti. Dari luar sampai dalam kuselami.

“Dia memang terlalu baik untukku. Tidak pantas aku mendampinginya,” aku sadar diri.

“Pantaskanlah dirimu,” seru batinku, “Jadilah yang terbaik untuk bisa sepadan dengannya. Jadilah yang terbaik untuk pantas mendampinginya. Jadilah yang terbaik untuk jodoh terbaikmu.”

Mana mungkin lelaki sesholeh dia akan Allah kirimkan padaku yang tidak menjaga laku. Aku malu sendiri mengakuinya. Kuputuskan untuk menjaga lakuku dengan yang bukan mahram. Tidak ada lagi jabat tangan erat, tidak ada lagi rangkulan meski hanya sahabat. Kaum adam itu bukan mahramku. Titik.

Mana mungkin lelaki taat titah-Nya ini akan bertoleransi dengan gaya berpakaianku yang memalukan di depan Allah. Tidak ada lagi kerudung pendek. Tidak ada lagi pakaian membentuk lekuk tubuh. Semua longgar dan panjang. Aurat tertutup sempurna!

Mana mungkin lelaki rajin bersujud pada-Nya ini melirik akhlakku yang amburadul. Tidak ada lagi tingkahku yang seenak perut, seenak jidat, semau gue! Semua harus berkiblat pada mau-Nya.

Tunggu!

Aku merasakan ada seseorang tersenyum padaku. Seseorang yang tidak kulihat wujudnya. Aku merasakan senyum itu datang dalam ketenanganku. Sejuk hati ini. Dia begitu dekat denganku. Aku tahu itu. Allah, Kau-kah yang tersenyum padaku?

Aku berkaca diri. Jilbab menjuntai, akhlak yang terpelihara, kesucian yang terjaga. Inikah mau-Mu, Rabb-ku? Aku masih merasakan senyuman itu. Titik sebening air mata jatuh di pipi. Dadaku bergejolak. Tanyaku dijawab oleh-Nya dengan cara-Nya.

“Ya Allah, selama ini aku telah menjauh dari-Mu demi dunia. Ya Allah, aku telah mengabaikan-Mu sekian lama. Semua titah-Mu kulaksanakan hanya sekedar memenuhi kewajiban tanpa ada keikhlasan. Ya Allah, aku malu pada-Mu. Inikah maksud-Mu mengirim laki-laki itu padaku? Untuk mengatakan bahwa Kau merindukanku dan ingin aku kembali pada-Mu?” Aku masih merasakan senyuman itu, “Aku kembali, Ya Allah. Aku telah kembali. Aku juga merindukan-Mu.”

Tidak lagi kupedulikan dia yang meninggalkanku. Tidak lagi aku acuhkan dia yang melukai hatiku. Ini cara-Nya untuk menunjukkan cinta-Nya padaku. Seandainya Dia berwujud, aku telah memeluk-Nya. Aku telah menangis di pundak-Nya.

“Ya Allah, terima kasih telah mengirimkan dia untuk menjemputku pulang pada-Mu.”

Senyuman itu. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana rasanya senyuman itu ketika ingin-Nya kuwujudkan. Semua metamorfosisku bukan lagi untuk laki-laki yang nan jauh di sana. Ini semua untuk Dia yang tersenyum indah padaku. Sebuah senyuman yang tidak bisa kulihat layaknya senyuman biasa. Namun, sebuah senyuman yang hanya bisa aku rasakan ketika dia melihatku seperti mau-Nya.

“Ya Allah, senyum-Mu jauh lebih indah dibandingkan keajaiban dunia manapun.”

Cerpen