Tiada, Bukanlah Tak Ada

Tiada, Bukanlah Tak Ada

(Sumber: www.anakcemerlang.com)

Handphoneku bergetar lagi. Tertera nama ‘Ibu’ dengan missed calls sebanyak dua kali. Jam menunjukkan pkl. 04.00. Adzan berkumandang. Sambil menahan kantuk, aku mengirim pesan kepada ibu.

“Iya Bu. Sudah bangun.”

‘Drrrrttt…’ Handphoneku kembali bergetar. Pesan balasan dari ibu.

“Baca Qur’annya jangan lupa ya Nak..”

***

Setiap hari ibuku selalu mengirimkan pesan. Saat jam shalat. Saat jam makan. Atau sekadar mengingatkanku untuk lekas tidur. Sudah menjadi rutinitas. Tapi jangan berpikir aku tak bisa mengurus diri sendiri. Tidak, aku bukanlah anak manja. Aku hanyalah anak perantauan.

Namaku Maria. Aku tinggal di Bandung dan bekerja di bidang jurnalistik. Sebut saja aku ini seorang hardworker. Ya, aku harus bekerja keras untuk menghidupi keluargaku di seberang pulau sana, Sumatera. Aku anak pertama dari tiga bersaudara. Automatically, aku menjadi tulang punggung setelah ayahku meninggal akibat penyakit stroke. Keberuntungan membawaku kesini. Bekerja sebagai editor majalah ternama menjadi batu loncatanku untuk menuju kesuksesan. Tak mudah jalan yang kutempuh untuk mencapai titik ini. Harus terbiasa tidur hanya 1-2 jam dalam sehari. Lupa makan. Terkadang, harus mengorbankan waktu libur untuk liputan. Dikejar deadline, tak ada waktu ngedate. :’)

Hingga suatu hari, aku harus bekerja di dua perusahaan sekaligus. Demi menambah pundi-pundi uang karena adik-adikku mulai masuk sekolah dan kuliah. Kesibukan ini membuatku tak sempat membalas setiap pesan dari ibu. Tak pernah mengangkat telepon darinya. Terus seperti itu. Sehari… Dua hari.. Tiga hari.. Dan aku.. Mulai mengabaikannya. Aku hanya mengirim pesan sebulan sekali pada ibuku.

“Sudah aku transfer ya Bu,” itu saja pesanku.

Bulan demi bulan berlalu. Jam kerja yang tak jelas liburnya, membuatku malas pulang. Sudah lama aku tak pulang ke rumah. Ibu masih selalu mengirim pesan satu arah padaku.

***

Aku berlari dengan kencang di pemukiman rumah padat penduduk, di sebuah gang sempit. Tak ada orang sama sekali di sini. Sepi. Bagaikan kota mati. Aku masih berlari. Napasku terengah. Dadaku sesak. Gang ini adalah gang menuju rumah. Rumah ibuku.

“Aku harus pulang,” ucapku dalam hati.

Rumahku masih belum tampak juga. Keringatku becucuran. Tenggorokan ini mulai kering. Aku terus berlari, lagi dan lagi..

Akhirnya, rumahku mulai terlihat dari kejauhan. Banyak kerumunan orang di sana. Semua berbaju hitam. Raut wajah mereka terlihat murung. Samar-samar terdengar isak tangis dan sedu sedan. Awan mendung seakan ikut berempati.

“Ada apa ini?”

Kupercepat langkahku menuju rumah. Ketika sampai di depan teras, entah mengapa langkahku terasa berat. Kurasakan hawa ketakutan mengalir di aliran darahku. Aku mulai berprasangka. Firasat buruk, hanya itu yang kurasakan.

Tanpa pikir panjang, aku menerobos masuk dari kerumunan. Bau kamfer menyeruak ketika aku masuk. Aku menemukan seseorang terbaring di samping kedua adikku. Terbujur kaku, terbungkus kain kafan putih. Wajahnya belum ditutupi dan pucat. Hidungnya disumbat dengan kapas. Kilas senyum membuatnya terlihat tetap cantik. Aku terpaku. Mendekat perlahan. Berharap ini hanya mimpi.

“KAKAAAAK,” jerit adik-adikku menghampiri dan memelukku dengan erat.

Aku hanya bisa terdiam, mematung. Sesaat, aku melepas dekapan adik-adikku. Tanganku meraih wajah pucat yang kini terasa dingin. Aku elus lembut pipinya. Air mata berlinang. Aku menengadahkan kepala, berusaha menahan air mata. Kutatap kembali lekat-lekat wajahnya.

Mengapa aku tak datang lebih cepat?

Mengapa aku selama ini mengabaikannya?

Aku belum sempat meminta maaf..

Aku belum sempat membahagiakannya..

Lebih lama lagi. Tuhan.. Kumohon beri aku waktu lebih lama lagi bersamanya..

Ini terlalu mendadak…

Rasanya ingin teriak namun tak bisa.

Rasanya ingin kembali ke waktu itu.

Rasanya ingin berharap bahwa ini hanya mimpi buruk.

Sesalku takkan menghidupkan kembali ibu ataupun ayahku. Kini, ketiadaan mereka membuatku merasakan keberadaan mereka. Rasa kehilangan membuatku menyadari betapa pentingnya kehadiran mereka. Meskipun mereka telah tiada, jauh dalam lubuk hatiku, mereka akan selalu ada.

“I will always miss you..”

 

Penulis,

Marliana

Cerpen