Senin malam tanggal 23 September 2019, saya menerima telepon dari kawan satu kampus yang mengajak untuk melakukan aksi demonstrasi di Jakarta, tepatnya didepan gedung DPR RI. Mulanya saya ragu untuk mengiyakan ajakannya, karena saya memang belum pernah turun ke jalan melakukan aksi demonstrasi dan sebagainya. Tapi hati kecil berkata bahwa “kau harus ke sana, kau adalah mahasiswa, buktikan bahwa mahasiswa adalah agent of change, agent of control“, maka dengan tekad yang bulat kami berangkat dari terminal Leuwi Panjang ke Jakarta pada pukul 23:00 WIB dengan menumpang bus jurusan Bogor.
Selama diperjalanan, jantung saya berdebar kencang takut-takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan disana. Tapi cepat-cepat saya buang pikiran itu dengan anggapan aksi ini adalah aksi damai dan tidak akan ada chaos. Sampai di Jakarta pukul 3 pagi, saya dan kawan turun di Pasar Rebo Jakarta Timur untuk berisitirahat sambil menunggu adzan subuh di mushola sekitaran Pasar Rebo. Usai mendirikan sholat subuh dan sarapan untuk mengisi energi, saya dan kawan menumpang bus Mayasari jurusan kp. Rambutan-Kalideres dan turun tepat didepan gedung DPR RI pada pukul 6 pagi.
Keadaan didepan gedung DPR RI pada saat itu sudah dipasangi kawat berduri oleh aparat kepolisian. Kami berjalan mengitari gedung DPR RI sambil mencari masjid untuk sekadar cuci muka dan sholat tahiyyatul masjid sambil berdo’a untuk keselamatan kami selama menjalankan aksi. Di perjalanan menuju masjid kami bertemu mas Zaenuddin yang berasal dari Cirebon dan meminta untuk turut bergabung bersama saya dan kawan. Tapi karena kami baru kenal dan belum tahu maksud dan tujuannya, maka kami tolak secara halus permintaan beliau. Singkat cerita kami mampir di masjid Nurul Ajam yang berada di lingkungan kantor kementerian kehutanan tepat didepan stasiun KRL Palmerah. Ketika kami hendak meninggalkan masjid saya ditegur oleh ibu pegawai di kementerian tersebut dengan perkataan “mahasiswa mau demo ya?” saya dan kawan hanya melemparkan senyum sebagai jawaban iya atas pertanyaan ibu tersebut.
Jam menunjukkan pukul 8 pagi ketika saya dan kawan sedang bersantai menunggu aksi dimulai didepan gedung BNI tepat disamping kantor Badan Pemeriksa Keuangan RI. Kemudian karena bosan kami memutuskan untuk berjalan menuju seberang gedung DPR RI untuk mencari kawan-kawan mahasiswa dari kampus lain. Di perjalanan kami bertemu dengan tiga mahasiswa dari Sukabumi yang hendak melakukan aksi pula, akhirnya kami berjalan bersama dengan mereka dan kembali bertemu dengan rombongan mahasiswa dari Universitas Ibnu Chaldun. Salah satu dari mereka yang saya kenal ada bang Kiki, mahasiswa semester 3 yang seharusnya sudah lulus karena ada permasalahan di kampus lamanya yang membuat namanya tidak terdaftar di Dikti. Bang Kiki ini orangnya asik diajak diskusi, dengan pembawaan yang kalem dan tidak terkesan menggurui. Kami berdiskusi di pinggir jalan tol dalam kota Gatot Subroto, kemudian bang Kiki mengajak kami menyebrang ke depan gedung DPR RI. Kami menyebrang menggunakan jembatan penyeberangan orang dan sempat mengambil beberapa gambar di sekitaran gedung DPR RI. Karena aksi dan orasi berjalan molor, kami memutuskan untuk ngopi sejenak. Sambil ngopi kami berbincang santai dengan salah satu aparat kepolisian yang berjaga di gedung DPR RI.
Ketika waktu zhuhur tiba, kami bergegas menuju masjid tempat tadi pagi kami bersih-bersih, bersama kawan-kawan dari universitas Tirtayasa Banten. Selepas sholat, kami menunggu kawan-kawan dari Bandung yang sedari tadi tak kunjung tiba di Jakarta. Akhirnya kami bertemu dengan Dzikri, sekretaris jenderal Ismafarsi yang berasal dari Universitas Al-Ghifari Bandung. Kami pun berangkat menuju depan gedung DPR RI dan di sana sudah berkumpul ribuan mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia.
Aksi dimulai dengan orasi dan perwakilan mahasiswa, buruh, petani dan elemen masyarakat lainnya yang menyampaikan aspirasinya lewat mobil komando. Kami bergabung dengan aliansi mahasiswa Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, Himpunan Mahasiswa Islam dan masih banyak lagi. Hingga pukul 15.30 WIB, masa yang jengkel karena tuntutannya tak kunjung didengar oleh DPR, meminta agar diadakan audiensi antara perwakilan mahasiswa dengan ketua DPR RI. Pada saat itu muncul firasat bahwa akan terjadi chaos dan dengan segera saya meminta pasta gigi kepada kawan untuk dioleskan pada bagian bawah mata untuk menangkal rasa perih dari gas air mata. Setelah melakukan konsolidasi dan briefing, perwakilan mahasiswa hendak memasuki kantor DPR RI, tapi secara tiba-tiba kepolisian menembakkan water cannon dan meledakkan gas air mata ke arah masa aksi, yang menyebabkan kepanikan dan kekacauan di barisan mahasiswa, sehingga audiensi gagal dilakukan pada saat itu. Saya bersama kawan saya langsung mundur ke belakang barisan karena efek gas air mata yang membuat mata perih bahkan bisa menyebabkan kebutaan sementara dan kami tidak membawa masa yang banyak dari kampus, kami pun mundur ke arah depan Kementerian Perhutanan, lalu belok kanan menuju kolong fly over jalan tol dalam kota dan menuju kantor bank BNI. Di sana kami berniat untuk pulang ke Bandung karena situasi yang sudah tidak kondusif. Karena jalan tol dalam kota ditutup oleh polisi, kami mencari bis yang menuju ke Bekasi dengan tujuan kami akan naik bis jurusan Bandung di Bekasi. Akhirnya kami mendapat bis Mayasari jurusan Kalideres-Bekasi.
Di dalam bis yang didominasi oleh ibu-ibu itu, kami bak narasumber yang diwawancarai perihal kejadian yang terjadi saat demontrasi berlangsung. Kami pun menceritakan kejadian yang kami alami, mulai dari berangkat dari Bandung yang hanya berdua saja, hingga bentrokan yang terjadi pada sore itu. Respon penumpang yang mendengar cerita kami sangat antusias dan mendukung gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa ini, karena menurut penuturan salah satu penumpang, mahasiswa lah ujung tombak dari pergerakan bangsa dan harapan yang besar ditujukan kepada mahasiswa untuk bisa merubah keadaan negara menjadi lebih baik. Di tengah jalan pun kami melihat bentrok yang terjadi, mulai dari saling tembak menembak menggunakan petasan, lempar-lemparan batu dan kayu hingga pembakaran pos polisi di depan GBK arena.
Dalam perjalanan kami bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang sangat baik kepada kami, olehnya kami diberi makanan dan air mineral. Ibu tersebut bercerita bahwa anaknya mengalami gangguan mental dan hilang sejak seminggu yang lalu, beliau memperlihatkan foto anaknya dan berkata kalau kami bertemu dengan anaknya, tolong kabari beliau. Saya mengiyakan seraya mendoakan agar ibu lekas berjumpa kembali dengan anaknya, aamiin.
Setelah sampai di Bekasi pukul 20.00 WIB, tepatnya keluar gerbang tol Bekasi Timur, kami turun dari bis Mayasari, ketika kami hendak turun salah seorang penumpang memberi kami beberapa lembar uang, sekadar untuk ongkos bis, katanya. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan menumpang bis jurusan Bekasi-Bandung dan sampai di Bandung tepat pukul 00.00 WIB.
Setelah kami sampai di Bandung, kami mendengar kabar bahwa hasil audiensi mahasiswa dengan ketua DPR menyatakan bahwa RKUHP tersebut ditunda pengesahannya. Tapi bukan sekadar penundaan yang kami inginkan, melainkan mengikutsertakan kalangan akademisi dan masyarakat Indonesia dalam menyusun RKUHP tersebut agar terjadi relevansi antara masyarakat yang diwakili oleh mahasiswa dengan pemerintah selaku pembuat RKUHP tersebut. Lagipula, tidak ada istilah penundaan dalam pengesahan RUU menjadi UU. Karena RUU yang sudah disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah itu akan tetap menjadi UU dalam tempo 30 hari walau tidak disahkan; pasal 73 UU No. 12 Tahun 2011.
“Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal dari perjuangan mahasiswa Indonesia, batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran”.
Soe Hok Gie
“Didiklah rakyat dengan organisasi, dan didiklah penguasa dengan perlawanan”
Pramoedya Ananta Toer
“Kekuasaan yang absolut adalah kekuasaan milik rakyat. Jika kehendak rakyat ditolak mentah-mentah oleh penguasa, bersiaplah kekuatan besar akan meruntuhkna tirani kekuasaan. ‘Vox Populi Vox Dei’, suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Penulis,
Miftah Tri Adiwijaya