MENOLAK EMANSIPASI WANITA

MENOLAK EMANSIPASI WANITA

Seandainya saja kita sebagai kaum laki-laki dapat merasakan sepuluh persen saja rasanya sakit melahirkan, beratnya beban mengandung selama 9 bulan, frustasinya mengurus anak balita bertahun-tahun setiap hari….. bayangkan itu semua menjadi beban kaum laki-laki. … saya yakin para lelaki akan meminta privilege, akan meminta keistimewaan dalam hidup.

Sampai saat ini saya belum paham mengapa setelah itu semua, ditambah mereka kaum perempuan juga ikut membantu mencari nafkah…. Yang mereka minta emansipasi? Persamaan hak?

Menurut saya bukan emansipasi yang harusnya dituntut para perempuan setelah semua pengorbanan itu, harusnya para perempuan meminta privilege, meminta keistimewaan, meminta diistimewakan.

Mungkin cara berfikir saya agak sedikit atau mungkin jauh berbeda dengan kebanyakan orang, tapi setidaknya saya meyakini itu setelah merenungkan sekian lama apa saja yang dikorbankan oleh ibu saya, setelah sekian tahun melihat perjuangan istri saya, setelah melihat begitu banyak perempuan membantu membangun bangsa. Tolong garis bawahi kata “membantu”, karena bekerja harusnya kewajiban utama para kaum laki-laki.

Memberanikan diri dengan keyakinan itu, saya coba menyampaikan pendapat dan pemahaman itu saya tularkan di lingkungan kecil tempat saya bekerja. Kurang lebih sekitar 1 bulan yang lalu saya sampaikan di rapat pembahasan aturan kepegawaian yayasan, sejujurnya memang saya tidak terlalu berharap banyak, hanya ingin melihat responnya seperti apa.

Saya usulkan beberapa hal, tentu saja setelah saya paparkan sedikit argumentasi-argumentasi di atas. Saya usulkan bahwa jam kerja perempuan harusnya tidak lebih banyak dari kaum laki-laki, maksimal 6 jam tiap hari, agar para perempuan masih memiliki waktu untuk keluarga, terutama anak. Bukankah ironis saat kita ingin memiliki generasi yang lebih baik, tapi justru kita tinggalkan anak-anak kita pada pembantu, baby sitter, kakek neneknya, atau sekolah full day yang bahkan tidak jarang kita tidak paham kurikulum, metode dan proses pembelajaraannya. Bukankah yang lebih tahu anak kita seharusnya kita para orangtuanya, bukankah sebaik-baiknya pendidik anak-anak kita adalah kita orang tuanya?

Saya juga usulkan agar cuti melahirkan bagi perempuan minimal 6 bulan, minimal… bukan maksimal. Berharap agar calon calon generasi muda kita dapat merasakan air susu ibu yang paling baik, dapat merasakan dekapan dan kasih sayang ibunya. Bukankah ironis, saat kita para orang tua begitu mendambakan anak, dan kemudian saat Tuhan memberikan anak pada kita, justru malah kita tinggalkan?

Beberapa hal saya usulkan, tetapi seperti yang saya duga, pertama mendengar usulan saya, hampir semua mengernyit, tersenyum kecut, bahkan beberapa perempuan.

Setidaknya sudah saya sampaikan, semoga suatu saat mereka dapat menyadarinya.

Penulis: Adang Firmansyah, M.Farm., Apt.

Opini