“Siapa namamu?”
“Killy.”
Gadis itu tergelak. “Namamu lucu.”
Tawanya menular, entah mengapa aku pun ikut tersenyum. Untuk pertama kalinya, aku bersyukur dinamai ‘Killy’.
“Salam kenal Kil, aku Marsha,” ucapnya sambil menjabat tanganku.
***
Hanya dalam waktu dua bulan, aku semakin dekat dengan Marsha, teman SMA-ku. Seorang gadis periang yang membuat hatiku meleleh. Sebagai lelaki normal, tentu saja aku jatuh cinta… Mengagumi wajah innocent-nya dan kulitnya yang putih. Ah, dia tipeku..
“Kil, dengerin ini deh.” Marsha memasangkan salah satu earphone-nya padaku.
“Saosin?”
“IYAAA! Kamu suka juga?” tanyanya berbinar-binar.
“My fav band, Mar. Kamu suka yang judulnya Seven Years?”
Marsha mengangguk-angguk dengan antusias.
“Aku nyanyiin buat kamu, versi acoustic,” kataku sambil mengedipkan mata padanya.
“Emang kamu bisa nyanyi?”
“Just see it. Beware, you will fall in love with me, Mar.”
Kuambil gitar kesayanganku, lalu kulantunkan lagu ini untuknya.
Prok…prok…prok.. Tepuk tangan Marsha membuatku tersenyum.
“Lagi Kil, lagi..” rengeknya.
“Aku udah peringati kamu loh, nanti lama-lama kamu jatuh cinta sama aku.”
Marsha hanya tersenyum.
“Kil, kenapa sih kamu jarang banget senyum? Padahal senyum kamu itu manis loh!”
Ah, dasar gadis bodoh.. Hanya dia yang bisa membuatku tersenyum.
“Next song ya.. Saosin-You’re Not Alone,” kataku mengalihkan pembicaraan dengan kembali bernyanyi.
“ASIIKKKK!!”
***
“Aku harus pergi, Mar.”
“Emangnya kamu ga bisa lanjut kuliah di sini aja, Kil?” Marsha tampak memohon.
“Kamu tahu kan? Aku ga bisa tinggal di sini. Bandung-Tangerang kan ga jauh Mar,” ucapku tersenyum canggung. Kubelai lembut kepalanya.
Aku memutuskan pindah dari Bandung, kota kelahiranku. Ayahku menikah lagi tanpa sepengetahuanku dan ibuku. Sudah sebulan yang lalu, ibuku minggat dari rumah dan tinggal di Tangerang. Aku tak bisa membiarkannya sendirian di sana. Akhirnya, kuputuskan untuk ikut tinggal dengan ibuku setelah lulus sekolah. Meskipun kutahu bahwa aku harus berpisah dengan Marsha..
“Mobil travelnya udah nungguin, aku pergi ya.”
Kutatap lekat-lekat gadis bermata jernih itu.
“Hati-hati Kil,” suaranya seakan melemah.
Aku masuk ke dalam mobil. Marsha masih menatapku. Tatapan yang tampak beda dari sebelumnya, begitu tenang namun seperti ada yang mengganjal. Ia tampak masih menatapku hingga bayanganku tak terlihat lagi..
Kami berpisah dan entah mengapa sejak saat itu, aku dan Marsha tidak pernah berkomunikasi lagi..
***
“Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar.”
Begitulah jawaban yang kudapat ketika men-dial nomornya Marsha. Tujuh tahun telah berlalu. Aku sama sekali tak tahu bagaimana kabarnya saat ini.
Lenyap.
***
Bandung, I’m back.
Banyak yang berubah dari Kota Kembang ini. Aku kembali karena urusan pekerjaan. Aku bekerja sebagai konsultan konstruksi bangunan. Kota ini mengingatkanku padanya, Marsha.. Bahkan ketika kuliah di teknik sipil, aku sempat membuat ‘beton’ berbentuk seperti mainan rubik yang terukir nama Marsha. Belum ada wanita lain yang bisa menggantikan tempatnya di hatiku. Meski waktu telah berlalu, hatiku masih terpaut padanya.
Ah..sepertinya aku ingin berkeliling di kota ini terlebih dahulu..
Aku pergi menuju toko buku, Bookmedia. Tempat pelarian favoritku ketika bolos sekolah. Kutelusuri setiap rak buku yang posisinya kini sudah berubah. Kuambil salah satu bukunya dan kubaca dengan cermat. Suasana di toko ini tampak lebih tenang dari sebelumnya. Pengunjungnya pun tak seramai dulu.
“Killy?”
Aku berbalik badan. Seorang gadis berkacamata dan berjilbab biru itu menyapaku.
“Kamu Killy kan?”
Aku terpaku. Masih menatap gadis tersebut.
“Masih suka Saosin?”
“Mar..sha?”
Tersimpul senyum manis yang selama ini kurindukan. “Kok kamu bisa ada di sini?”
“Aku nyariin kamu.”
“Dih, dasar tukang gombal.”
“Bandung banyak berubah ya. Kamu bisa nemenin aku ga Mar? Nanti aku kesasar deh kalau jalan-jalan sendirian.”
“Hmmm… Waktuku mahal loh..” candanya.
“Jadi, kamu ga mau nemenin aku, Mar?”
“…..”
***
Sudah berjam-jam kami mengobrol di café. Rasanya menyenangkan bisa bertemu kembali dengannya. Tak banyak hal yang berubah dari kami kecuali fisik kami yang semakin dewasa. Marsha bahkan menjadi lebih cantik dari sebelumnya. Hubungan kami masih tampak sama seperti dahulu.
“Kita udah lama ya ga begini..”
“Ga begini gimana Mar?”
“Ya…..gini.”
“Mar.. Kamu kemana aja? Kenapa nomormu ga bisa aku hubungi?”
“Banyak hal yang terjadi, Kil.”
Matanya mendadak sendu.
“Maafin aku Mar, aku ga ada di samping kamu selama ini.”
“…”
Suasana mendadak canggung. Kesalahan terbesarku adalah pergi meninggalkannya tiba-tiba. Aku bahkan tak sempat mengungkapkan perasaanku padanya. Kami terdiam beberapa saat. Alunan suara musik di café seakan mengiringi pikiran yang berkecamuk di otak kami.
“Aku…”
“Ya Mar?”
Ia menelan ludah berkali-kali. Seperti bersiap ingin mengatakan sesuatu. Aku masih terdiam dan menunggunya bicara.
“Sebentar lagi..aku akan menikah Kil..”
***
You silently left the room.
This unbearable pain..
I can’t handle this.
I love you, but..
It’s all over..
All we gotta do, just be friends..
Thanks Mar for being my friend..
It’s time to say goodbye..
Penulis,