Bandung memang tidak perlu diragukan untuk masalah wisata alam. Sangat banyak pilihan destinasi di Bandung yang tentunya membuat para wisatawan selalu datang menyerbu setiap kali ada kesempatan untuk berlibur. Namun artikel kali ini tidak akan membahas destinasi di Kota Bandung, karena tentunya itu sudah terlalu mainstream. Banyak yang belum tahu bahwa pinggiran Bandung pun sebenarnya tidak kalah dalam hal wisata alam. Hal ini saya buktikan sendiri pada minggu pertama KKN (16/08/15) yang kebetulan bertempat di Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari yang tidak jauh dari lokasi situ (danau dalam Bahasa Sunda) yang cukup dibanggakan warga sekitar, yaitu Situ Cisanti.
Saya yang berdomisili di dusun Lebaksari mendapatkan informasi mengenai Situ Cisanti tersebut dari ibu yang merelakan rumahnya untuk di obrak-abrik alias ditinggali oleh saya dan rekan-rekan lainnya selama kurang lebih 3 minggu.
Dapat dikatakan bahwa minggu pertama KKN terasa sangat menyenangkan dan tidak terlalu berat untuk dilalui karena saya dan rekan-rekan kelompok 3 sudah memiliki motivasi yang dapat membuat kami melupakan bagaimana lelahnya saat menjalani setiap program kerja, dan tentunya tidak sabar menunggu hari dimana wacana kami untuk pergi piknik akan segera terealisasi. Menggelar tikar dibawah pohon rindang, makan bersama sambil memandangi hamparan danau tentulah hal yang cukup menyenangkan dan akan sulit dilupakan. Merupakan pengalaman tersendiri untuk saya karena dapat mengunjungi Situ Cisanti yang adalah sebuah danau yang terletak ditengah hutan eucalyptus dan sering disebut sebagai “nadi Jawa Barat” itu. Istilah ini tentunya bukan hanya sebuah istilah yang muncul ke permukaan tanpa ada alasan yang jelas, karena dari danau itulah sungai Citarum berasal. Tentu semuanya sudah tahu mengenai sungai Citarum yang dikenal sebagai sungai terbesar dan terlebar di Jawa Barat dengan panjang sekitar 269 km dan membelah 12 kabupaten dan kota.
Menghabiskan makanan yang kami masak bersama, menikmati hangatnya secangkir teh ataupun mencium wanginya aroma kopi ditemani canda-tawa tentulah hal yang masih sangat jelas melekat di ingatan saya, dan segera setelah itu kami mulai kembali berjalan mengitari danau sambil terus berfoto, mengabadikan momen yang entah kapan akan kembali terulang.
Sambil berjalan mengelilingi danau, saya sempat bercerita sedikit bersama ibu Dedeh (pemilik rumah di dusun Lebaksari) yang ikut bersama kami. Dari apa yang diceritakan, saya mendapat informasi bahwa Situ Cisanti adalah pertemuan dari 7 mata air yang ada disana, diantaranya mata air Cikahuripan (Pangsiraman), mata air Cihaniwung, mata air Mastaka Citarum, mata air Cisadane, mata air Cikoleberes, mata air Cikawedukan dan terakhir mata air Cisanti. Dari ketujuh mata air tersebut, yang paling populer adalah mata air Pangsiraman. Namun tidak sembarangan orang yang dapat masuk mengunjungi mata air Pangsiraman yang dikelilingi oleh pagar besi, karena dijaga oleh seorang juru kunci. Selain itu terdapat juga bangunan yang digunakan untuk mereka yang ingin melakukan “ziarah” dikawasan tersebut.
Lokasi tersebut dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu untuk laki-laki dan perempuan. Hal itu sedikit menarik rasa ingin tahu saya, terlebih saat dikatakan bahwa banyak orang yang datang untuk mandi di mata air tersebut. Namun dikatakan bahwa hal ini hanya berlaku di malam-malam tertentu yang di anggap baik untuk melakukan ziarah, seperti pada kamis malam dan akan semakin ramai dikunjungi saat terang bulan di bulan Maulud, dan tentunya tidak bisa sembarangan mandi karena ada sebuah tatakrama yang harus dilakukan sebelumnya.
Dikatakan juga bahwa terkadang ada juru kunci yang siap menolong untuk memandikan, layaknya siraman nikahan dimana seluruh tubuh akan dibasahi oleh air dari mata air tersebut. Suami bu dedeh menambahkan bahwa kebanyakan orang datang dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan hati, awet muda, enteng jodoh, dan juga kekayaan ataupun jabatan dalam pekerjaan. Namun tidak berarti orang yang berkunjung diwajibkan untuk mandi saat mengunjungi mata air tersebut, sekedar cuci muka atau sedikit main air pun diperbolehkan.
Situ Cisanti juga dapat dijadikan sebagai tepat wisata sejarah karena merupakan sebuah petilasan (tempat persinggahan) Dipatiukur. Siapakah beliau? Mungkin pada paragraf ini akan sedikit out of topic, karena saya akan menyisipkan sedikit mengenai Dipatiukur dengan alasan untuk menambah wawasan para pembaca sekalian yang kebanyakan adalah mahasiswa yang sering melupakan pelajaran yang telah didapat sesaat setelah UAS selesai. Tentu akan memalukan bila seorang mahasiswa tidak bisa menjawab bila ada yang iseng menanyakan siapakah dia. Dipatiukur adalah saudara ipar dari pangeran ranggagede yang dipenjara oleh kerajaan mataram, karena dianggap gagal dalam menghadapi serangan dari Banten. Akhirnya tongkat kepemimpinan bupati wedana priangan diberikan pada dipatiukur pada abad ke-17 yang kemudian mendapat perintah dari Sultan Agung untuk memimpin pasukan dan menyerang Belanda di Batavia pada tahun 1628. Dipatiukur membawa 9 umbul (pimpinan daerah) dalam penyerangan ke Batavia, namun 3 umbul kemudian berkhianat dan menjadi antek-antek Mataram. Pengkhianatan inilah yang dipercaya menjadi penyebab kekalahan dipatiukur. Selain menjadi petilasan dipatiukur, Situ Cisanti pernah juga dikunjungi oleh Bujangga Malik, putra Raja Padjajaran, pada abad ke-5 dalam perjalanannya mengunjungi tempat-tempat suci di Pulau Jawa dan Bali.
Untuk kalian yang ingin mengunjungi Situ Cisanti, tidak perlu khawatir karena situ ini dapat ditempuh oleh kendaraan roda dua atau roda empat sekitar 2-3 jam. Situ Cisanti berlokasi di Kampung Pejaten Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari Kabupaten Bandung. Lokasi dapat diakses melalui dua cara, yang pertama melalui kawasan pangalengan dan menyusuri perkebunan teh Malabar. Banyak yang mengatakan bahwa jarak menuju Situ Cisanti melewati pangalengan lebih dekat, namun karena kami berada di desa Cibeureum jadi tentulah kami pergi dengan menggunakan jalur kedua. Jalur kedua yaitu melalui Bandung – Ciwastra – Ciparay – Pacet – Cibeureum dan selanjutnya Kertasari. Saat sampai di lokasi, akan ada orang yang datang menghampiri untuk meminta uang parkir kendaraan, yaitu Rp. 2.000 untuk motor dan Rp 5.000 untuk mobil. Bagaimana dengan tiket masuk? Dari pengalaman saya, saya mengambil kesimpulan bahwa tarif yang harus dibayar sebagai tiket masuk tergantung dari pandangan si penjual tiket pada kita para pengunjung. Orang yang datang berkunjung bisa saja diminta bayaran Rp 7.500/orang ataupun Rp 5.000/orang, dan itu tergantung dari seberapa hebat kemampuan tawar menawar anda sekalian. Namun untuk orang yang terlalu berat mengeluarkan uang untuk masuk a.ka pecinta gratisan, maka pergi ke Situ Cisanti bersama warga sekitar adalah pilihan yang tepat karena hanya perlu mengeluarkan uang parkir kendaraan. Adapun fasilitas yang disediakan di sekitar situ cisanti adalah toilet, mushola dan ada juga penginapan/cottage kayu yang bisa digunakan untuk menginap dan menikmati malam ditengah hutan Situ Cisanti.
Demikianlah sedikit ulasan mengenai Situ Cisanti, semoga bermanfaat dan mohon maaf karena masih terdapat banyak kekurangan dalam pencantuman informasi. [ ]
Penulis : Olivia Oktaviani Hambali