Akhir-akhir ini daun kratom sedang ramai dibicarakan setelah Kepolisian Resor Palangkaraya Kalimantan Tengah, pekan lalu mengamankan dua truk bermuatan 12 ton daun kratom yang hendak dikirim ke luar negeri. Meskipun dinyatakan berbahaya karena diduga mengandung psikotropika, tumbuhan itu belum masuk kedalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Mitragyna speciosa (Korth.) Havil
Kratom sendiri berasal dari Asia Tenggara dan Papua Nugini. Secara tradisional tumbuhan ini telah lama dikenal sebagai candu dan kini produk kratom telah banyak tersedia di USA (smoke shop) dan di Indonesia (seperti Bali kratom, Sumatera kratom) yang dipasarkan melalui media online. Berdasarkan survei oleh European Monitoring Centre for Drugs and Drugs Addiction (EMCDDA) tahun 2008 dan 2011, mengungkapkan bahwa kratom merupakan suatu New Psychoactive Substances (NPS) yang paling banyak diperdagangkan secara illegal.
Drug Enforcement Administration (DEA) melaporkan kratom dapat menyebabkan ketergantungan dan penyalah gunaan kratom banyak terjadi di USA dan Thailand yang angkanya lebih tinggi dari pada ganja. Thailand sendiri telah melarang kratom dan mengelompokkannya sekelas kokain atau heroin sedangkan Malaysia melarang kratom sejak tahun 2004 dan menggolongkannya sekelas dengan ganja dan heroin. Meskipun FDA tidak mengijinkan kratom sebagai suplemen makanan, penyalah gunaan ini terjadi karena mudah didapat (tanpa resep) dan harganya lebih murah dibanding buprenorfin.
Dari hasil pembahasan sidang harmonisasi ASEAN di bidang obat tradisional dan suplemen makanan di tingkat ASEAN, menggolongkan kratom sebagai tumbuhan yang dilarang untuk seluruh bagian tumbuhan dikarenakan dapat memberikan efek ketergantungan, euforia, halusinasi, narkotika, toksis terhadap sistem syaraf sehingga berpotensi untuk disalahgunakan. Selain itu, tingkat kekuatan kratom yang sangat besar melebihi ganja dan morfin yang masing-masing 10 dan 14 kali lipatnya dapat menyebabkan efek yang fatal bagi pengguna yaitu kematian. Hingga kini BNN telah mengindikasikan kratom ke dalam kelompok NPS meskipun masih bebas di tanam dan diperjual belikan.
Di Kalimantan sendiri kratom digunakan sebagai obat tradisional tanpa sadar efek yang ditimbulkan serupa dengan kokain dan morfin. Para petani disana sengaja menanam kratom untuk dieksport karena harganya yang menarik, bahkan ada yang menyebutkan bahwa kratom digunakan sebagai pengganti pohon karet yang harganya terpuruk. Selain itu, masyarakat juga sering mengkonsumsi kratom dengan dikunyah, dihisap, diseduh, dibuat pil, atau rokok. Mereka percaya bahwa selain sebagai obat, kratom dapat digunakan sebagai suplemen makanan.
Di beberapa negara kratom memiliki nama lokal seperti kadamba, puri, keton (Indonesia), biak-biak, kutum (Malaysia), beinsa (Myanmar), mambog, lugub (Filifina), ithang, thom (thailand), dan giam (Vietnam).
Daun kratom rata-rata beratnya sekitar 1,7 gram segar atau 0,43 gram kering dengan 20 daun mengandung sekitar 17 mg mitragynine. Komponen utama dari daun krotam adalah alkaloid indol yaitu, mitragynine (66,2%) dan 7-hidroksimytragynine (2,0%). Hal tersebut sangat memungkinkan bahwa senyawa alkaloid yang terkandung di dalam daun kratom memiliki aktivitas sedatif. Secara farmakologi kratom sebagai sedatif, analgesik, antidiare, antidepresan, menurunkan daya ingat, dan gejala putus obat (withdrawal syndromes).
Efek samping jangka pendek penggunaan kratom diantaranya ialah mulut kering, konstipasi, diare, detak jantung abnormal, dan kehilangan koordinasi antara otot dengan lengan dan jari. Sedangkan efak samping jangka panjangnya seprti kehilangan berat badan, tremor, halusinasi, insomnia, dan mulut kering. Di beberapa kasus terdapat efek withdrawal symptoms yang terjadi ketika pengguna zat adiktif mencoba menghentikan penggunaannya.
Penulis