Meja belajar itu kini sudah menginjak 2 tahun sebagai saksi bisu dan perantara cintanya dengan sang pujangga yang dikasihinya itu. Benda mati itu menjadi tempat penyangga berjuta-juta kata dengan goresan pena yang melambai, menjadi teman setia sebagai tempat berkumpulnya rasa bahagia atau rindu yang menyapa sang penulis si gadis manis, Marsya namanya.
Marsya adalah seorang gadis manis yang berasal dari desa, dia tinggal bersama kedua orang tua dan adik laki-lakinya. Di lingkungan keluarga, dia anak yang pendiam dan tidak terlalu banyak bicara, mungkin karena ayahnya memiliki karakter yang tegas dan serius. Namun, di lingkungan sekolahnya, dia dikenal sebagai gadis yang cerdas, periang, humoris dan suka mencairkan suasana. Dia menyukai sastra, dia sering mengikuti ajang lomba menulis cerpen, puisi ataupun novel, beberapa karyanya berhasil dia raih sebagai juara favorit dan diterbitkan di beberapa buku dengan kategori antologi. Bakat menulis tersebut dia dapatkan dari gen ayahnya, beliau juga menyukai sastra, sehingga sangat mendukung jika anaknya menggeluti bakatnya itu. Kini, Marsya pun tumbuh menjadi wanita yang puitis dan romantis. Sehingga dia masuk ke salah satu Universitas di Bandung mengambil jurusan Sastra Bahasa Indonesia.
Kesibukan Marsya adalah kuliah dan mengikuti beberapa komunitas sosial diluar kampus. Selain itu, dia jarang sekali nongkrong bersama teman-temannya, dia lebih memilih berdiam diri di rumah dan melakukan hobi menulisnya itu. Dia sadar, menulis membutuhkan konsentrasi dan imajinasi yang bebas. Maka, jika sedang menulis dia harus sendiri di kamar berteman secangkir kopi dan lantunan musik instrumental untuk mendukung imajinasinya yang berkeliaran. Sesekali, ibunya membawakan pisang goreng hangat ataupun makanan lainnya untuk menemani putrinya itu, tapi dia selalu menolak halus.
“Makasih, bu. Nanti saja kalau mau, aku ambil. Kalau ada makanan, nanti malah fokus ke makanan dong, hehe”
“Yasudah, ibu simpan di atas meja makan ya? Atau ibu simpan di lemari saja, kalau di meja makan nanti malah dimakan sama adikmu itu, terus kamu marah-marah nyalahin dia” dengan sedikit gaya mengejek tapi lembut.
“Hahaha, iya bu simpan di lemari saja. Jangan sampai memberi kesempatan tikus mencuri makananku”
“Wuuss, kamu ini. Jangan ngomong gitu sama adikmu, salah sendiri makanannya gak dibawa ke kamar dan segera dihabiskan, keburu dingin nih kan kurang enak” sambil pergi sambil membawa sepiring pisang gorengnya.
“Hehehe, iya maaf bu. Nanti sebentar lagi, ini tanggung bentar lagi selesai kok, lagian udah kerubuk-kerubuk juga nih perut” sambil tertawa kecil dan menyeruput kopi dalam mug bergambar dirinya itu.
Marsya memang kreatif, semua barang miliknya selalu dia tandai dengan membubuhkan gambar atau namanya, selain mug, sarung bantal dan sprei yang disablon foto dirinya sendiri, handuk yang bertulisan namanya dengan jahitan unik, bahkan wallpaper kamarnya pun dia penuhi dengan foto-foto dirinya dan ukiran tulisan-tulisan oleh cat warna warni. Sekilas memang terlihat tidak rapi, bahkan gak karuan, tapi baginya itu adalah seni dan indah. Sehingga, selain hobinya menulis membuat dirinya sering menyendiri, mungkin karena suasana kamarnya yang unik dan menyenangkan membuatnya sangat betah berlama-lama dikamar sendiri. Walau, terkadang temannya mengejek bahwa dirinya itu jorok karena kamarnya sering berantakan oleh buku-buku dan sampah-sampah kardus membuat tangan gatal untuk membereskan.
“Sya.. Kamu itu kan perempuan, kok kamarnya berantakan gini sih. Jorok ih!” Seru Novi, temannya.
“Hahaha, tapi menurutku tidak, kamarku paling keren” sambil terkekek dan bangga.
“Lagian ini kardus, kertas-kertas, lem, palu, kayu-kayu bekas, buat apa sih Sya? Kayak tempat sampah aja kamar kamu ini” sambil menyingkirkan beberapa kertas yang berserakan dan manyun tidak karuan.
“Dengar ya, Nov. Para seniman diluar sana, mereka selalu tampil norak atau aneh-aneh yang katanya tidak rapih dan tidak keren, tapi seorang seniman adalah mereka yang bebas berekspresi, bagi mereka estetika itu bukan kerapihan, tapi keunikan. Nah, sastrawan juga begitu, mereka bebas berimajinasi, menyimpulkannya dalam bentuk kata-kata indah, terngiang mesra dan mempesona bagi siapa saja yang mendengarnya” Kata Marsya dengan nada puitis dan bahasa tubuh seperti sedang memainkan pentas drama.
“Hah, otak kamu memang sudah terkontaminasi sastra, Sya. Dulu, kamu lebih suka ngebahas hal-hal yang berbau humoris, sekarang setelah kuliah di Sastra selalu ngomong dengan nada puitis walau isinya cuma kata-kata biasa, ih!”
“Hahahaha, berarti aku sudah seperti sastrawan besar dan para seniman hebat itu ya? Asiiiikkk hahahaha”
“Iya, tapi jadi lupa main sama sahabatnya” sambil manyun
“Eeeehh, ya enggak dong, Novi sahabatku sayang, walau kita beda kampus dan jurusan, tapi kan sering main bareng dan bikin acara bareng diluar kampus, aku tetep menyukai humor kok, jangan manyun gitu ah, nanti manisnya ilang direbut gula, hehehe” Kata Marsya sambil memeluk sahabatnya itu dan dibalas dengan pelukan mesra sahabatnya.
Novi adalah sahabatnya sejak kecil, mereka satu sekolah sejak SD, SMP, dan SMA. Namun, ketika kuliah, mereka berbeda kampus dan jurusan. Novi adalah mahasiswi jurusan Farmasi, dia menyukai hal-hal yang berbau sains. Mereka memang memiliki kesibukan yang berbeda ketika kuliah, tapi untuk urusan diluar kampus mereka tergabung dalam komunitas yang sama, yaitu komunitas sosial yang sering mengadakan acara bakti sosial ke tempat-tempat yang ditimpa bencana, atau ke panti asuhan di sekitar daerah Jawa Barat. Untuk urusan sosial, mereka sangat kompak. Bagi mereka, persahabatan mereka akan selalu terjalin walau jalan hidup mereka berbeda jauh, tetapi hal itu mereka jadikan sebagai alasan untuk berbagi pengalaman dan ilmu.
Hari Minggu, tidak ada kuliah dan kegiatan diluar kampus. Seperti biasa, Marsya bangun dan segera sholat subuh lalu membantu pekerjaan ibu dirumah. Tepat pukul 10.00 WIB, dia duduk santai diteras rumah sambil membaca buku karya Pidi Baiq, isinya nyeleneh banget bikin Marsya ketawa-ketawa sendiri. Tapi tidak dengan hatinya, rasanya gundah tidak karuan seperti ada yang dia harapkan datang. Iya, tukang pos yang mengantarkan secarik surat itulah yang dia harapkan datang, hampir dua jam dia menunggu, makin gelisah perasaannya dan ada gurat kecewa diwajahnya walau ditangannya terdapat buku humor remaja.
“Kapankah, kau datang pak pos” gumamnya dalam hati sambil menyeruput teh hangat di mug kesayangannya.
Meskipun sekarang sudah zamannya serba canggih, semua serba elektronik, bahkan untuk urusan surat menyurat sudah banyak yang menggunakan elektronik mail (e-mail) atau surat elektronik yang tentu saja bisa mempercepat sampainya kepada yang dituju, tetapi bagi Marsya dan Aris adalah bukan soal waktu, ini soal perjuangan dan esensi. Dengan mengirimkannya lewat pos, surat harus ditulis tangan dan kalau berantakan harus diulang lagi, belum lagi waktu sampainya yang memakan waktu berhari-hari, dan hari Minggu adalah hari rutin Marsya menerima surat dari Aris. Aris yang kini sudah menjadi kekasih hatinya walau belum pernah jumpa. Aris tinggal di pulau seberang, jauh sekali sehingga untuk bertemu langsung dengan Marsya adalah hal yang tidak mudah dan bahkan belum pernah sama sekali. Mereka berkenalan lewat media sosial twitter, berawal dari saling mengagumi tulisan di blog masing-masing, lalu saling mention-an, tukeran nomor hp hingga sering mereka berbicara lewat telepon. Setelah sekitar 1 tahun mereka dekat, ada benih-benih cinta tumbuh di hati mereka hingga membawa mereka kedalam sebuah komitmen yaitu surat menyurat melewati bapak pos, ide ini muncul ketika mereka merasa monoton dengan alat komunikasi yang ada, lalu sepakatlah mereka dengan cara ini. Dengan begitu, mereka harus berjuang untuk menuliskan kata-kata di atas kertas, mencurahkan segala isi hati walau harus berpuluh-puluh paragraf hingga mereka harus bersabar untuk menunggu surat balasan dari satu sama lain. Hari Minggu adalah jadwal dimana biasanya surat balasan sang kekasih sampai ditangan untuk segera dibaca, tapi waktu sudah menunjukan pukul 12.00 WIB, Marsya kembali ke kamar dengan wajah yang sangat kecewa dan ketika duduk di kursi belajarnya, dia menulis sebuah puisi:
Mana janjimu?
Kau bilang sepucuk surat itu akan menyapaku pagi ini
Ah, ini sudah siang
Bahkan mungkin senja akan segera datang
Tapi suratmu itu……
Telah berhasil membuat hariku kelabu
Seperti hatiku kini
Membisu dalam sendu
(Marsya)
Wajahnya menunduk menutupi puisi yang baru saja dia tulis itu, ada butiran air mata jatuh langsung membasahi kertas berisi curahan hatinya itu. Setelah beberapa lama, hatinya semakin gelisah, hingga berfikir untuk menghubungi sang kekasihnya itu dengan menanyakan balasan surat darinya. Karena, sudah menjadi kebiasaan selama 2 bulan itu setiap hari Minggu pagi surat balasan dari kekasihnya itu datang, tapi tidak dengan hari ini. Telepon genggam diambilnya, lalu memanggil kontak yang bernama “Sang Pujangga Hatiku”, dan sudah nyambung, lalu ditutup kembali teleponnya. Dia berharap ada yang balik nelpon atau sekedar memberikan pesan singkat untuk memulai pembicaraan, karena jika dia tanyakan langsung, dia merasa malu. Tapi, setelah 15 menit kemudian telpon dan sms dari kekasihnya tidak kunjung datang, hatinya semakin gundah, kesal. Dia baringkan tubuhnya diatas kasur dan terlelap.
Pukul 18.00 WIB
“Tok.. tok.. tok… Marsyaaa” Suara pintu kamar Marsya yang diketuk ibunya
Marsya pun bangun dan segera membuka pintu dengan setengah sadar.
“Iyaa, Maa..”
“Kamu baru bangun? Astagfirulllah ini sudah mau maghrib, pamali kalau tidur. Cepet mandi dan sholat dulu”
Dengan wajah kusut Masrya mengangguk “Iya, Maa”
Malam pun tiba, badan Marsya sudah terasa segar kembali. Seperti biasa dia menyiapkan tugas kuliah yang harus dikumpulkan besok, dengan tenang dia pun duduk di kursi serta menyimpan secangkir kopi diatas meja belajarnya. Pikirannya kembali kepada sepucuk surat yang tidak datang, lalu segera mengambil Hp-nya dan memanggil sang kekasih.
“Tuutt.. tuut..”
“Hallo, Assalamu’alaikum?” sapa perempuan dengan suara parau dari seberang sana.
“Wa..wa’alaikumussalam..mm” jawabnya dengan sedikit kaget karena yang mengangkat telponnya adalah bukan kekasih hatinya.
“Maaf, nak. Ini siapa? Mau ke Aris ya? Ini dengan ibunya”
“iii iyaa, bu. Ini Marsya, temannya Aris, Arisnya ada?”
“Ya Allah, Gusti Nu Agung..”
Terdengar suara seperti menangis dan menutupi suara agar tidak teriak, Marsya heran dan hatinya sudah tidak enak, dia berfikir macam-macam, Arisnya mana? “Kekasihku, apa yang terjadi?” gumamnya dalam hati.
“Maaf, bu.. Ada apa dengan Aris?”
“Nak, maafkan segala kesalahan Aris, anak ibu. Dia mengalami kecelakaan maut 3 hari yang lalu, dia meninggal siang tadi pukul 12, dia sudah tidak ada.”
“Ya..Allah.. Apaaa?”
Badannya terkulai lemas, air mata tumpah seketika mengaliri pipinya begitu deras, mulutnya bungkam seperti tidak mampu mengatakan apa-apa. Pikirannya tertuju pada satu nama, orang yang dikasihinya walau tidak pernah jumpa itu kini sudah tiada.
Kepergian orang yang telah menemaninya dalam lautan asmara dengan berjua-juta kata, kini semuanya tidak akan ada lagi. Dia pun merasa aneh, walau tidak pernah jumpa secara fisik, tetapi kematiannya membuat dia merasakan kehilangan yang mendalam. Dia pernah mendengar pepatah bahwa: “Wanita mencintai karena mendengar, tetapi lelaki mencintai karena melihat.” Hmm, pantas saja dia begitu berbunga-bunga ketika menerima surat dari sang kekasih atau mendengar suaranya.
Setelah kepergian Sang Pujangga, Marsya sering mengurung diri di kamar, ibunya yang tidak tahu apa-apa itu heran dengan sikap anaknya. Hanya Novi, temannya, yang tahu semua cerita Marsya. Dan Marsya, dia tetap menulis, menulis dan menulis. Dia menulis begitu banyak curahan perasaannya, tapi kali ini tidak dia kirim ke kantor pos, surat-surat itu disimpan dalam kotak. Untuk menulis satu puisi tentang sang pujangga itu, dia hanya butuh waktu satu menit saja, ya, satu menit saja. Semuanya berisi tentang dirinya yang terpukul atas kepergian kekasihnya tanpa pamit. Kini, kotak yang berisi puluhan puisi itu sudah penuh, bahkan sudah tidak muat lagi. Dan tanpa membaca lagi puisi-puisinya itu, Marsya membuangnya. Dia pikir, dengan begitu, perasaan terpukulnya akan juga hilang bersamaan dengan kumpulan puisi dalam kotak.
Marsya menyuruh Novi untuk membuangnya, tapi sebelum membuangnya ke laut seperti yang diinginkan Marsya, dia membaca semua surat puisinya. Ada haru, merinding dan sedih yang mendalam ketika dia membacanya. Sehingga, dia berinisiatif untuk mengetik ulang puisi Marsya dan mengirim ke salah satu penerbit buku tanpa Marsya tahu.
Dua bulan berlalu, ada ucapan selamat dari penerbit untuk Marsya ke email Novi, puisi karya Marsya layak dibukukan dalam kategori antologi solo. Senyum merekah di wajah Novi, dia tak sabar untuk segera mengabarkannya kepada Marsya. Namun, niatnya itu dia urungkan. Dia akan memberi kejutan untuk Marsya, dia akan memberi kabar bahagia ini nanti setelah buku itu terbit dan tersebar di toko-toko buku.
Dalam waktu sebulan, buku antologi solo karya Marsya dengan judul “Kotak Puisi” itu telah tersebar di toko buku se-Indonesia. Dan ketika saatnya Novi memberitahukan hal ini kepada Marsya, hampir saja Marsya tak percaya, dia memegang buku karya antologi puisi solonya, dia sangat senang dan sangat berterimakasih kepada Novi.
Kini, Marsya mengerti bahwa inilah hidup, penuh kejutan, dan ketika semuanya dia tuliskan dalam bentuk apapun, maka akan abadi. Luka atas kehilangan kekasihnya mungkin tidak akan pernah hilang, tapi dengan keberadaan buku Kotak Puisi karya dirinya itulah yang akan menjadi saksi bisu selanjutnya setelah meja belajar, pena, kertas, kamar, dan kopi atas perjalanan kisah cintanya dengan Sang Pujangga yang kini raganya sudah hilang melarut dengan tanah, namun jiwanya, akan terasa ada dalam ruang perasaannya.
Bandung, Juni 2014
Penulis : Sri Wahyuni