ARINDA TAK MEMILIH

ARINDA TAK MEMILIH

Dia melangkah pergi tanpa sepatah kata pun kepada kami. Aku lihat Andi menatapnya dari jauh di tengah riuh ramai suka cinta kelulusan kami. Seraya ada yang hendak diucapkan atau dilakukan, tapi dia urung bergerak. Aku tahu makna tatapan mata Andi pada sahabatku Arinda.

Handphone Arinda yang tergeletak di atas meja depan televisi memekik singkat. Mataku kontan melirik handphone-nya. Tertulis, ‘1 message Andi’. Aku yakin Arinda yang duduk di sebelahku tahu ada pesan dari Andi untuknya, tapi tak dia sentuh handphone itu, apalagi membacanya.

Sejurus kudengar pintu depan kosan terbuka. Kulempar pandanganku ke arah pintu. Datanglah Wella, teman satu kosanku, dengan wajah ceria.

“Dari mana, Wel?”

“Baru ditraktir yang baru lulus sidang,” jawabnya riang, “Ke kamar dulu, yach?”

Aku hanya mengangguk. Kulihat Arinda bergeming. Satu yang ada dalam benakku kala itu. Arinda yang mati-matian membantu Andi belajar hingga lulus sidang, tapi Andi merayakan kelulusannya dengan sang kekasih, Wella. Aku hanya bisa menghela nafas.

 

***

Beberapa lama, aku perhatikan Andi dan Arinda dicekam keheningan. Tidak ada lagi tegur sapa di antara mereka. Tidak ada lagi canda tawa yang menghiasi keduanya seperti beberapa bulan terakhir. Arinda menjadi sosok yang sangat pemurung. Andi pun tampak menjadi seorang yang ragu.

Andi sepertinya sudah tak tahan lagi. Siang itu seusai kami mengurus ijazah dan transkip nilai, Andi menghampiri Arinda.

“Rin, aku ingin bicara dengan kamu.”

“Apa?” Tanya Arinda datar.

“Bisa berdua?”

Arinda mantap menggelengkan kepala, “Aku tidak mau ada fitnah yang macam-macam tentang kita.”

Andi melirikku beberapa detik lantas kembali dia melempar matanya pada Arinda, “Rin, ada apa, sih? Kenapa kamu jadi bersikap dingin seperti ini sama aku?”

“Biasa saja. Kamu berlebihan,” seloroh Arinda sembari berlalu. Andi mengejar.

“Rin, kita dulu tidak seperti ini. Kamu begitu ramah, baik, hangat, tapi sekarang kamu seperti es, dingin. Apa aku berbuat salah sama kamu?”

“Kamu tidak salah apa-apa.”

“Lalu kenapa kamu seolah menjauhi aku?”

Arinda menjejakkan kaki. Andi berhenti melangkah, “Ndi, apa sikap aku begitu berarti buat kamu? Sebelum kita dekat beberapa bulan yang lalu, kita bahkan sama sekali tidak tegur sapa, kan? Sekarang kalau kita bersikap layaknya sebelum kita bertemu, masalah?”

“Masalahlah, Rin.”

“Masalahnya di mana?”

“Masalahnya…” Andi sempat tercekat, “Mungkin aku merindukan saat kita menghabiskan waktu bersama.”

Aku lihat Arinda terperanjat mendengar pengakuan Andi.

“Rin, maafkan aku, tapi itulah yang sebenarnya terjadi.”

“Kamu punya Wella, Ndi,” Arinda pergi.

“Rinda!!” Andi mengejar, “Rin, aku tahu aku punya Wella, tapi aku tidak bisa pungkiri kalau aku nyaman dengan kamu selama ini. Kamu membuat aku menjadi seseorang yang lebih baik.”

“Aku yakin Wella bisa melakukan apa yang aku lakukan sama kamu, Ndi.”

“Wella tidak pernah melakukannya. Rinda!” Andi menghalangi langkah Arinda, “Kenapa kamu lakukan semua itu sama aku? Kenapa kamu selalu mengingatkan aku sholat? Kenapa kamu selalu menyemangati aku? Kenapa kamu selalu menenangkan aku?”

“Aku lakukan semua itu pada teman-teman yang lain,” bantah Arinda.

“Lalu, kenapa kamu rela begadang semalam suntuk hanya untuk menemani aku belajar? Kenapa kamu rela membuang-buang waktu untuk membantu tugas akhir aku? Kenapa kamu rela datang ke sidang aku? Kenapa kamu selalu ada untuk aku? Apa kamu lakukan itu juga pada semua teman-teman yang lain?” Arinda menundukkan pandangannya, “Kamu juga merasakan apa yang aku rasakan kan, Rin? Kamu cuma takut menyadari dan mengakuinya. Iya, kan?”

“Kalau kamu sudah mendapatkan semua jawaban itu, apa yang akan kamu lakukan?”

“Kalau memang kamu merasakan apa yang aku rasakan, aku akan tinggalkan Wella. Aku ingin bersama kamu, Rin.”

“Aku bukan perempuan yang tidak punya hati, Ndi. Wella teman aku. Lagipula, kalau memang aku merasakan apa yang kamu rasakan, kalau memang benar aku juga ingin bersama kamu, apa kamu mau menikahi aku sekarang juga?!” Wajah Andi tak lagi sesengit semula, “Ndi, dunia kita berbeda. Aku bukan seseorang dari dunia kamu. Aku hanya seseorang yang sempat masuk ke dunia kamu. Sebaiknya kita hidup dalam dunia kita masing-masing seperti sebelum Allah mendekatkan kita beberapa bulan yang lalu.”

Arinda meninggalkan Andi dalam ketermenungan.

 

Ba`da Isya, handphone-ku berbunyi. Ada telepon masuk.

Assalamu`alaikum, kang Aldian,” Jarang-jarang sepupuku yang satu itu menghubungiku, “Tumben Akang telpon aku. Kenapa?”

Dia menanyakan keadaanku, ujian kelulusanku, jadwal wisudaku, dan banyak lagi yang lain sampai pada akhirnya dia mengatakan sesuatu yang kuyakin itu adalah tujuan utama menelepon sepupu perempuannya ini.

“Hmm, apa kabar dengan Arinda?”

Aku mengetahui Aldian dan Arinda dekat beberapa tahun yang lalu. Namun, aku dengar sepupuku ini memilih gadis lain maka Arinda mundur dengan teratur.

“Sepertinya aku tahu tujuan utama Akang telepon aku,” Aldian diam, “Kang, apa benar Akang sudah punya calon istri?” Aldian masih membisu di ujung telepon sana, “Kang, Arinda sedih banget waktu tahu Akang sudah punya calon. Akang tidak tahu apa kedekatan akang membuat dia berharap banyak pada Akang.”

“Dia calonnya, Mel. Saat aku maksud aku sudah punya calon istri, calon istri yang aku maksud adalah Arinda. Arinda tahu kabar itu dari orang lain. Aku sama sekali tidak memberitahunya. Aku tidak tahu semua ini jadi begini.”

Aku cukup terhenyak mendengarnya apa yang sebenarnya terjadi.

“Kenapa Akang tidak menjelaskan pada Arinda?”

“Aku tidak sempat. Arinda menjauh dari aku sebelum sempat aku menjelaskannya. Aku berencana mengkhitbahnya setelah dia lulus. Bagaimana menurut kamu, Mel?” Semua kata seolah menghilang di ujung lidahku, “Mel?”

Setelah aku selesai dengan Aldian, sebuah sms masuk dari Andi. Aku dibuat kaget setengah mati dibuatnya, “Mel, Aku berencana memutuskan hubungan dengan Wella. Apa dengan begitu Arinda mau menerima cinta aku?”

Aku balas dengan tegas, “Apa kamu berani menikahi Arinda?!”

Sesudah lama tak ada balasan, Andi membalas, “Aku siap menikahi Arinda.”

 

Hari wisuda yang kami tunggu-tunggu datang. Hari bersejarah dalam hidup aku dan kawan-kawanku setelah empat tahun berjuang sekuat tenaga demi meraih cita dan gelar yang kini sah tersemat di depan nama kami. Aku dan semua kawanku memakai kebaya dan jas terbaik yang dibalut toga. Namun, di antara ribuan kawan tak kutemukan Arinda sejak awal hingga akhir acara. Berkali-kali aku hubungi handphone-nya, tapi tidak diangkat.

“Mela!!” Aku melihat Aldian berdiri di luar gedung serba guna sembari memegang sebuket bunga seusai prosesi wisuda, “Mana Arinda?” wajahnya begitu sumringah, “Aku akan melamar dia hari ini.”

Aku terperanjat mendengarnya, tapi tak lama karena aku kembali sadar aku sedang mencari Arinda.

“Arinda tidak datang, Kang. Dari tadi pagi aku meneleponnya, tapi dia tidak mengangkat. Kemarin sore dia pergi ke hotel di mana orang tuanya menginap.”

“Sudah menelepon hotelnya?”

“Sudah. Katanya mereka tidak ada di kamarnya.”

“Mela!!!” Andi berlari seperti orang gila ke arahku. “Mel, Arinda!! Arinda!!”

“Kenapa Arinda, Ndi? Kenapa dia?!” Wajah Andi panik luar biasa. Mulutnya kelu. Ingin dia mengatakan sesuatu, tapi sulit dia katakan. Aku terus memaksanya, “Andi, kenapa Arinda?!!”

Aku melihat dari sudut mata Andi mengalir sebening air mata.

“Ada apa dengan Arinda?” Tanya Aldian.

“Humas universitas tadi menghubungi dekan. Dia mengatakan Arinda dan keluarganya tadi pagi mengalami kecelakaan.”

“Apa?!!”

“Lalu, bagaimana kondisi Arinda?” Kejar Aldian cemas.

Andi menundukkan kepala. Dia seraya ingin menahan tangis.

“Arinda,” suara Andi berat dan serak, “Arinda meninggal dalam kecelakaan itu.”

Buket bunga yang dipegang Aldian jatuh, “Arinda tidak boleh meninggal.”

Entah apa yang terjadi kala itu. Tiba-tiba saja bagiku semua gelap. Aku pingsan.

Dan, kini, aku ada di hadapan onggokan tanah basah bertabur bunga. Nisan di ujung tanah itu bertuliskan ‘Arinda Malinda binti Muhammad Husein’.

Aku melihat Aldian dan Andi berdiri berdampingan di pemakaman Arinda. Kedua mata mereka sembab. Pandangannya lurus ke onggokan tanah yang menutup raga Arinda di liang lahatnya. Hingga akhir hayat Arinda tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Aldian dan Andi. Hingga matanya tertutup Arinda tak pernah tahu betapa keduanya mencintai dia. Hingga rela Andi meninggalkan Wella. Hingga sabar Aldian menanti dia. Arinda tidak sempat memilih antara cinta Aldian ataupun Andi. Namun, aku tahu Arinda mendapat cinta yang lebih besar daripada cinta Aldian dan Andi. Arinda mendapatkan cinta Sang Khalik.

Kulihat sesal di mata kedua pemuda yang mencintai Arinda. Sesal Andi atas ketidakberanian dia untuk memiliki Arinda. Sesal Aldian atas ketidakjujuran dia untuk menyatakan cinta pada Arinda. Sesal keduanya tak dapat membahagiakan Arinda sebelum ajal menjelang.

Oleh : Revika Rachmaniar

Cerpen Umum