Analogi Tablet

Analogi Tablet

Satu per satu serbuk itu berubah menjadi tablet. Khairul dan Tinka memperhatikan mesin pembuat tablet itu. Bergerak teratur mencetak tablet berbentuk bulat dengan logo kampus di tengahnya. Laboratorium terlihat sepi dan hanya mereka berdua yang sedang praktikum. Mereka adalah mahasiswa farmasi yang terpaksa harus susulan praktikum Teknologi Formulasi Sediaan Solid.

“Aku capek”, keluh Tinka.

“Capek? Kamu butuh pengikat dan pengisi, selanjutnya kurangi penghancur yang ada dalam tubuhmu.” Khairul duduk menanggapi tetapi dia tak menatap langsung Tinka. Matanya masih tertuju lurus pada mesin tablet.

“Kamu ngomong apa sih?? Ga nyambung ih..”

“Lihat itu tablet, kerapuhannya udah sama kayak kamu,” jawab Khairul yang kini sudah memegang Hardness Tester.
“Apaan sihhhh… Makin ga ngerti deh kamu ngomong apa!!” Tinka mulai kesal.

“Tadi kamu ngomong capek kan? Yaelah.. Segini doang ngeluh capek. Payah.” Ucap Khairul datar.

“Heh! Emangnya kamu ga capek?? Lihat nih kita udah 3 jam cuma bikin tablet beginian, itupun harus dievaluasi lagi. Keseragaman bobot, waktu hancur, friksibilitas dan friabilitas. Kamu pikir itu ga makan waktu apa?? Kita mau beres kapan coba?? Ini kan hari Sabtu pula, weekend gini harusnya aku hangout bareng temen-temen.”

Khairul mulai menyumbat telinganya dengan tangan lalu menatap tajam pada Tinka yang sedari tadi nyerocos. Setelah Tinka diam, dia mulai mendekati Tinka dan berbicara dengan suaranya yang makin terdengar dalam.

“Denger ya Princess… Kalau kamu ga mau capek, berhenti aja kuliahnya. Emang kamu ngarepin apa sih? Kuliah ala FTV? Ala Korea?? Kamu tuh udah kayak tablet yang kita bikin ini. RAAA…PUUUHHHH.”

“Kamu kenapa sih?? Aku punya salah apa sama kamu sampe bikin kamu ngatain aku kayak tablet???”

“Kamu tahu ga komposisi tablet itu apa??”

“Tau lah!!”

“Coba sebutin!”

“Ada zat aktifnya yang jelas.” Ketus Tinka.

“Ibaratnya itu kamu. Terus apa lagi?”

“Pengikat.” Jawab Tinka dengan singkat.

“Ibaratkan itu motivasi kamu masuk kampus ini. Jelas motivasi kamu itu kurang. Kurang pengikat. Bisa jadi kamu masuk sini cuma karena desakan orangtua.”

Tinka terdiam. Memang benar, dia masuk sini hanya karena orangtua yang menginginkan dia menjadi sarjana di jurusan yang bisa dibilang favorit ini.

“Terus apalagi?” tanya Khairul memecah kesunyian.

“Penghancur?”

“Ya, penghancur itu ibaratkan hambatan yang kamu lalui untuk menggapai sesuatu. Apa kamu pikir bayi lahir langsung bisa jalan? Semua ada prosesnya. Kamu bisa berkembang kalau ada hambatan. Lanjut, apalagi?”
Tinka mulai merasa aneh dengan percakapan unik ini.. Tapi dia seperti terhipnotis mengikuti alurnya.

“Kalau lubrikan?”

“Itu adalah effort kamu. Effort yang kamu punya bisa melancarkan serbuk melewati corong mesin.”
Tinka mulai menggangguk-angguk, “kalau glidant?”

“Itu ibadah kamu. Usaha yang kamu lakukan harus disertai dengan ibadah. Sama kayak ini, supaya serbuknya ga saling nempel.”

Tinka tersenyum kecil.

“Kalau antiadherent?? Apa coba?”

“Doa dan restu orangtua kamu. Supaya tabletnya ga nempel di mesin cetakan, jadi impianmu bisa lancar.”

“Satu lagi, kalau zat pengisi?”

“Rasa syukur. Isi hidup kamu dengan rasa syukur. Gagal atau berhasil itu kehendak Tuhan. Dia Maha Tahu mana yang terbaik untukmu dan ga pantes kamu mencela ketentuan yang Dia berikan padamu. Karena tak ada Tuhan yang akan mencelakakan hamba-Nya kecuali karena perbuatan kamu sendiri.”

Tinka tertegun. Khairul yang aneh ini telah menyadarkannya akan sesuatu. Semangat belajar mulai menjalar dalam tubuhnya dan dia mulai memanjatkan rasa syukur dalam hati.

“Analogimu aneh tapi keren. Thanks ya,” ucap Tinka sambil tersenyum.

penulis : Marliana

Cerpen