Kisah ini diambil dari kisah nyata seorang kawan yang ingin dirahasiakan identitasnya karena takut terkenal. Kisah ini aku persembahkan untuk para kawanku yang merasa salah jurusan kuliah, hehehe~ Jika terdapat kesamaan nama tokoh, tempat, mungkin cuma kebetulan semata. Selamat menikmati, jangan lupa tersenyum karena itu manis sekali, serius! ^^,
***
Namaku Rubi, nama lengkapku Rubiaceae. Jangan heran dan jangan menganggapku alay, itu benar-benar nama asliku. Ayahku memberiku nama keluarga tanaman yang berasal dari bahasa Latin. Tapi, beliau bukan pakar yang bergelut di bidang Ilmu Pengetahuan Sains, beliau hanya seorang laki-laki yang pernah muda dan ketika mudanya itu disebut pemuda, hehe. Serius nih! Beliau hanya seorang pemuda yang bercita-cita membuat perusahaan ber-genre herbal. “Sekarang, masyarakat sudah beralih ke obat-obatan herbal dari obat berbahan kimia. Perkembangan teknologi telah berhasil membuat masyarakat semakin melek informasi, begitu banyak berita tentang para oknum-oknum tidak bertanggungsjawab yang memalsukan suatu produk dengan menambahkan beberapa bahan kimia tanpa takaran yang seharusnya, sehingga sangat berbahaya jika dikonsumsi secara terus menerus yang akhirnya merisaukan para konsumen. Selain itu, masyarakat menjadi semakin cerdas membandingkan kualitas dari obat herbal dan obat berbahan kimia. Jadi, itulah salah satu yang melatarbelakangi saya ingin mendirikan perusahaan yang memproduksi bahan herbal menjadi produk-produk yang berkualitas dan dapat menyaingi bahkan mengalahkan perusahaan-perusahaan obat berbahan kimia.” Begitulah cuplikan perkataan ayah setiap kali ditanya soal cita-cita dan harapan oleh teman-temannya, serta ketika ditanya soal alasan mengapa memberiku nama dari keluarga tanaman yang berbahasa Latin. Bagi ayah, dengan begitu, ketika cita-citanya tidak tercapai, semoga aku, anaknya, bisa mewujudkannya.
Kini, aku sudah menginjak usia 20 tahun, sedang kuliah di jurusan Farmasi semester 5, Adikku yang bernama Liliaceae pun kini dia sedang sekolah kelas XI di SMKF (Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi), dan itu pula keinginan ayah. Namun, aku dan adikku berbeda. Aku, lebih tepatnya hatiku, sangat tertekan dengan keadaan ini, merasa tidak nyaman karena harus kuliah di jurusan yang bukan passion-ku, aku lebih suka dunia IT, aku bercita-cita menjadi programmer handal. Tapi, seketika impianku harus aku kubur dalam-dalam ketika sedang dikelas berhadapan dengan mata kuliah yang berbau sains dan farmasi. Bayangkan saja, impianku membuat sebuah aplikasi canggih atau merakit komputer, eh malah belajar meracik obat dan berkutat dengan ilmu eksak. Tapi, Lili, adikku, dia sangat menyukai dunia kesehatan, dia sangat menikmati sekolahnya, terbukti nilainya selalu bagus dan satu lagi yang membuatku tidak nyaman adalah seringnya dibanding-bandingkan oleh ayah karena prestasi adikku lebih bagus dariku. Bagaimana jika dirimu menjadi aku? Apakah mau berontak? Aku setuju! Aku pun berontak. Hatiku terus menolak. Dan apa yang terjadi? Melakukan apa yang aku tidak suka dan aku terpaksa melupakan impianku adalah sebuah kemunafikan dan siksaan. Tetapi, di sisi lain, aku sangat mengerti, tidak ada orangtua yang menjerumuskan anaknya ke jurang yang salah, bahkan orangtua yang jelas-jelas berbuat salah pun tidak ingin anaknya melakukan hal yang sama, orangtua pasti ingin anaknya menjadi yang lebih baik darinya.
Hingga sampai saat ini, demi ayahku, aku berusaha menjadi seperti apa yang beliau mau. Jika memang aku sudah terjebak, semoga aku terjebak di dalam kebaikan. Selalu ku berdo’a semoga Tuhan senantiasa menuntun hatiku agar ikhlas menjalani rutinitasku. Dan, tetap saja Tuhan penentu akhir dari segalanya, jika aku ditakdirkan untuk menjadi seorang Farmasis, maka demikianlah jadinya. Tetapi, jika ditakdirkan menjadi seorang programmer handal seperti impianku, aku yakin Tuhan akan memberikan jalan, entah merubah hati ayahku menjadi sangat setuju dengan impianku, entah tiba-tiba aku akan menjadi Farmasis dan sekaligus programmer? Oh, mudah-mudahan begitu.
Dari pengalamanku ini, aku bisa mengambil hikmah, bahwa sosok orang tua memang memiliki peran penting terhadap masa depan anaknya. Ketika baru lahir, aku seperti kertas kosong yang siap di curat-coret oleh orang yang mengurusku dan mendidikku. Tetapi, bagaimana jika aku dilahirkan seperti kertas berwarna hijau? Tentu saja jika ditulisi pensil berwarna hijau, tidak akan mewujud tulisan apapun, akan percuma jika digambarkan apapun, bukan begitu? Iya, mungkin itu sedikit analoginya saja. Sehingga harapanku, ketika kelak aku memiliki anak, aku tetap akan memberikan modal karakter untuk anakku, tetapi ketika anakku sudah beranjak dewasa, maka penentu sikap dan jalan hidupnya akan menjadi urusan anakku sepenuhnya, dan sebagai orangtua, akan sangat mendukung dan tetap memberikan arahan agar tidak salah langkah. Semoga.
Eh? Bagaimana jika soal nama? Hehe. Sepertinya aku tidak akan mengikuti cara ayahku. Aku akan memberikan nama yang terbaik untuk anakku kelak, karena nama adalah do’a dan harapan. Kebayang jika aku sangat menyukai IT, jika perempuan diberi nama ‘Komputer’ dipanggilnya ‘Kokom’, atau namanya ‘Netbook’ dipanggilnya ‘Onet’ (doraemon dong), atau namanya ‘Laptop’ dipanggilnya ‘Unyil’? (Lah _-“ itu mah nama acara di TV ih).
***
Itulah, kisah kawanku. Dia berpesan kepada kawan-kawan yang membaca bahwa ini hanyalah sepenggal kisah hidupnya, jika hal ini dialami juga oleh kalian dan kalian memiliki cara lain untuk mengatasinya, aku sangat menghargai keputusan kalian. Jadilah dirimu sendiri yang kau mau, tetapi yakinlah sekali lagi bahwa tidak ada orangtua yang menjerumuskan anaknya ke dalam jurang kenistaan #asik, mereka hanya ingin yang terbaik, namun, jika kalian memutuskan untuk memilih jalan sendiri, maka berilah orangtua kalian penjelasan dengan santun, sentuhlah hati mereka, selebihnya biar Allah yang urus, Allah yang Maha Membolak-balikkan hati. Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua. Aamiin.
Dan semoga kisah ini bermanfaat bagi kawan semua, mohon maaf atas segala kesalahan dan tidak ada maksud untuk menggurui, ini hanya berbagi kisah kawanku yang disana, salam manis katanya ^_^. Karanganyar, 23 Agustus 2014
Penulis : Sri Wahyuni