Setelah booming tentang vaksin palsu, sekarang masyarakat Indonesia ditakutkan lagi dengan adanya isu obat palsu yang berada dipasaran. Beredarnya obat palsu merupakan salah satu masalah serius yang dihadapi banyak negara, termasuk Indonesia. Sebenarnya isu obat palsu sudah beredar sejak lama, namun baru-baru ini booming kembali setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan sidak dibeberapa apotek di Kota Jakarta, Tangerang, dan Yogyakarta. Obat yang biasanya dipalsukan adalah obat anti konfulsi, antitusif, dan anti diabetes. Produk farmasi yang dipalsukan atau tidak terdaftar sangat mudah ditemukan di Indonesia dan merupakan ancaman serius bagi kesehatan masyarakat. Keuntungan perdagangan obat palsu diperkirakan mencapai 10% dari total pasar obat-obatan, atau sekitar US$200juta diseluruh dunia. Di Indonesia sendiri peredaran obat palsu dapat mencapai 25%.
Adanya praktik pemalsuan produk farmasi dikarenakan hukum dan peraturan yang berlaku menerapkan hukuman yang terlalu ringan bagi pelanggar hukum sehingga tidak tercipta efek jera. Misalnya, pelaku pemalsuan hanya dikenakan enam bulan hukuman penjara. Menurut Kepmenkes No.1010/2008: “Obat palsu adalah obat yang diproduksi oleh yang tidak berhak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau produksi obat dengan penandaan yang meniru identitas obat lain yang telah memiliki izin edar”. Sedangkan Menurut WHO: “Obat palsu adalah obat-obatan yang secara sengaja pendanaannya dipalsukan, baik identitasnya maupun sumbernya”.
WHO sendiri mengelompokkan obat palsu ke dalam lima kategori, yakni:
a. Produk tanpa zat aktif (API);
b. Produk dengan kandungan zat aktif yang kurang;
c. Produk dengan zat aktif berbeda;
d. Produk yang diproduksi dengan menjiplak produk milik pihak lain; dan
e. Produk dengan kadar zat aktif yang sama tetapi menggunakan label dengan nama produsen atau negara asal berbeda.
Obat palsu bisa menyebabkan risiko buruk terhadap kesehatan publik. Pemakaian obat palsu di bawah standar dapat mengarah pada resistensi obat dan bahkan dapat meyebabkan kematian. Untuk melindungi diri dari peredaran obat palsu, maka setiap membeli obat haruslah:
a. Membeli obat hanya di apotik, terutama untuk obat resep. Selain itu, untuk obat resep sebaiknya penggunaanya jangan diteruskan dengan membeli sendiri (tanpa resep dokter) karena dengan keluhan yang sama di masa mendatang tidak bisa dipastikan obatnya sama dengan obat sebelumnya, walaupun dengan obat sebelumnya dapat menyembuhkan.
b. Cermati nama obat, produsen, tanggal kadaluwarsa, dan nomor izin edar. Obat palsu sering kali tidak mencantumkan informasi-informasi tersebut.
c. Pastikan kemasan obat mencantumkan nomor registrasi BPOM.
d. Beritahu dokter bila obat yang diberikan tidak menolong meredakan kondisi anda.
Ciri-ciri obat palsu diantaranya adalah:
a. Arah peletakan obat pada kemasan yang berbeda. Misalnya obat aslinya dikemas dalam blister miring, tetapi obat palsu dikemas dengan arah obat sejajar.
b. Jenis huruf yang dipakai pada kemasan. Obat palsu mungkin menggunakan font yang lebih besar dan tipis, tapi tidak menutup kemungkinan sebaliknya.
c. Warna pada kemasan. Biasanya, warna terlalu pudar atau pucat. Bisa juga tidak mencantumkan logo obat pada kemasannya.
d. Tidak memiliki Nomor Izin Edar (NIE) yang tercantum di kemasan. NIE diawali dengan 3 huruf dan 12 digit angka.
e. Harga yang lebih murah. Umumnya obat palsu memiliki harga yang lebih murah dari obat aslinya.
Penulis : Dani Saputra