Menurut hasil survei I-NAMHS (Survei Kesehatan Mental Remaja Nasional Indonesia), satu dari tiga remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental, sementara satu dari dua puluh remaja Indonesia mengalami gangguan mental dalam 12 bulan terakhir. Angka ini setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta remaja. Remaja dalam kelompok ini adalah remaja yang terdiagnosis dengan gangguan mental sesuai dengan panduan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Edisi Kelima (DSM-5) yang menjadi panduan penegakan diagnosis gangguan mental di Indonesia.
Gangguan mental yang paling banyak diderita oleh remaja adalah gangguan cemas (gabungan antara fobia sosial dan gangguan kecemasan menyeluruh) sebesar 3,7%, diikuti oleh gangguan depresi mayor (1,0%), gangguan perilaku (0,9%), serta gangguan stres pasca-trauma (PTSD) dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD) masing-masing sebesar 0,5%.
Beberapa situasi yang memicu remaja Indonesia rentan terkena gangguan mental adalah masalah keluarga, masalah dengan teman sebaya, dan stres pribadi. Kurangnya penanganan dan perhatian akan masalah kesehatan mental remaja bisa memicu kerentanan remaja Indonesia mengalami gangguan mental.
Meskipun pemerintah telah meningkatkan akses ke berbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Padahal, hampir 20% dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia 10-19 tahun, sehingga populasi remaja dapat dikatakan memiliki peran penting.
Kondisi kesehatan mental masyarakat yang semakin memprihatinkan akan berpengaruh pada produktivitas nasional. Hal ini dapat menghambat Indonesia dalam peralihan menjadi negara maju pada tahun 2045. Layanan kesehatan mental menjadi krusial dan membutuhkan perhatian yang sama dengan kesehatan fisik.
Orang-orang kebanyakan beranggapan bahwa masalah kesehatan mental tidak berbahaya dibanding penyakit fisik seperti jantung, diabetes, atau mungkin kanker. Kemudian, deteksi dini mengenai gangguan kesehatan mental masih dianggap sepele. Orang baru akan dianggap memiliki masalah psikologis “berbahaya” ketika dia ingin atau sudah melakukan tindakan yang menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri.
Dalam rangka mengatasi masalah kesehatan mental remaja, perlu adanya upaya dari berbagai pihak, seperti pemerintah, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain:
- Peningkatan Kesadaran: Peningkatan kesadaran mengenai pentingnya kesehatan mental dan deteksi dini gangguan kesehatan mental dapat dilakukan melalui kampanye sosialisasi dan edukasi di sekolah, media sosial, dan masyarakat umum.
- Peningkatan akses: Pemerintah dapat meningkatkan akses ke layanan kesehatan mental, seperti konseling dan terapi di berbagai fasilitas kesehatan, termasuk di sekolah.
- Peningkatan Dukungan: Keluarga dan teman sebaya dapat memberikan dukungan dan perhatian kepada remaja yang mengalami masalah kesehatan mental.
- Peningkatan Pemahaman: Peningkatan pemahaman mengenai gangguan kesehatan mental dapat dilakukan melalui pelatihan dan edukasi bagi guru, orang tua, dan masyarakat umum.
Masalah kesehatan mental remaja di Indonesia adalah permasalahan yang mendalam dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Kita dapat membahas lebih lanjut tentang solusi dan peran yang masing-masing pihak bisa lakukan, diantaranya sebagai berikut:
- Penyediaan Layanan Kesehatan Mental yang Terjangkau: Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan mental yang terjangkau bagi remaja. Hal ini bisa mencakup pembentukan pusat-pusat kesehatan mental khusus untuk remaja di seluruh negeri, serta mengurangi biaya konseling dan terapi.
- Pelatihan Guru dan Tenaga Pendidik: Guru berperan penting dalam mendeteksi dan membantu remaja yang mengalami masalah kesehatan mental. Oleh karena itu, pelatihan yang lebih baik untuk guru tentang tanda-tanda gangguan kesehatan mental dan cara mendukung siswa adalah penting.
- Pencegahan Melalui Kurikulum Pendidikan: Memasukkan pendidikan kesehatan mental dalam kurikulum sekolah adalah langkah proaktif. Hal ini dapat membantu remaja memahami kesehatan mental mereka sendiri dan memecahkan stigma yang masih ada terkait dengan gangguan kesehatan mental.
- Pemberdayaan Orang Tua dan Keluarga: Orang tua dan keluarga memiliki peran besar dalam mendukung remaja yang mengalami masalah kesehatan mental. Program-program yang memberdayakan orang tua untuk mengenali tanda-tanda masalah dan berbicara terbuka dengan anak-anak mereka bisa sangat efektif.
- Mengurangi Stigma: Penting untuk mengurangi stigma sosial yang masih melekat pada masalah kesehatan mental. Kampanye-kampanye publik perlu dilakukan untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya berbicara terbuka tentang kesehatan mental dan memberikan dukungan kepada mereka yang membutuhkannya.
- Riset dan Pengembangan: Investasi dalam riset kesehatan mental remaja adalah langkah yang sangat diperlukan. Data yang lebih baik akan membantu pemerintah dan lembaga terkait untuk mengembangkan program-program yang lebih efektif.
Upaya bersama dari semua pihak termasuk pemerintah, keluarga, sekolah, dan masyarakat, akan menjadi kunci untuk mengatasi epidemi gangguan kesehatan mental remaja di Indonesia. Jika tidak ditangani dengan serius, masalah ini dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan generasi muda Indonesia, yang pada gilirannya akan berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup nasional. Kesadaran, akses, dukungan, dan pemahaman yang lebih baik adalah langkah-langkah menuju masa depan yang lebih baik bagi remaja Indonesia.
Sumber:
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/04/14/jutaan-remaja-indonesia-disebut-terdiagnosis- gangguan-kesehatan-mental-ini-jenisnya
https://ugm.ac.id/id/berita/23086-hasil-survei-i-namhs-satu-dari-tiga-remaja-indonesia-memiliki-masalah- kesehatan-mental/
https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20221212142530-255-886337/studi-245-juta-remaja-indonesia- kena-gangguan-jiwa
https://www.halodoc.com/artikel/benarkah-remaja-indonesia-rentan-alami-gangguan-mental
Penulis: Devi Siti Nurfadillah
Editor: Anggita Noviana Zahra