Senja mulai merambat di kaki langit ketika Rani melangkahkan kakinya keluar dari gedung kantornya. Ia menghela napas panjang, merasakan beban pekerjaan yang seolah masih menempel di pundaknya. Sudah hampir setahun ia bekerja sebagai desainer grafis di perusahaan periklanan ini, namun entah mengapa akhir-akhir ini ia merasa hampa. Setiap hari terasa seperti rutinitas yang membosankan, tanpa ada tantangan atau kegembiraan yang berarti. Bahkan proyek-proyek besar yang dulu membuatnya bersemangat kini terasa seperti beban yang menyesakkan.
Rani memutuskan untuk berjalan kaki menuju halte bus, berharap udara sore yang sejuk dapat menjernihkan pikirannya. Langkahnya gontai, matanya menerawang memandangi gedung-gedung tinggi yang membayang di langit senja. Ia teringat betapa dulu ia bermimpi bisa bekerja di salah satu gedung itu, menciptakan karya-karya yang akan dilihat oleh ribuan orang. Namun kini, mimpi itu terasa begitu jauh dan hambar.
Saat ia berjalan, matanya tertumbuk pada sebuah kafe kecil di sudut jalan yang belum pernah ia perhatikan sebelumnya. Papan nama kafe itu sudah agak pudar, tetapi entah mengapa memiliki daya tarik tersendiri. Entah apa yang mendorongnya, tapi Rani memutuskan untuk masuk ke kafe itu. Mungkin secangkir kopi bisa membantunya menenangkan diri sebelum pulang ke apartemennya yang sunyi.
Begitu ia melangkah masuk, aroma kopi yang harum langsung menyambutnya, bercampur dengan wangi roti yang baru dipanggang. Kafe itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung yang tengah asyik dengan dunia mereka masing-masing. Interiornya sederhana namun hangat, dengan lukisan-lukisan abstrak menghiasi dinding-dindingnya. Rani memilih meja di sudut ruangan, dekat jendela besar yang menghadap ke jalan. Ia memesan secangkir cappuccino dan sepotong cheesecake, lalu mengeluarkan buku sketsa dari tasnya.
Tanpa sadar, tangan Rani mulai menggoreskan pensil di atas kertas. Ia membiarkan pikirannya mengembara, sementara tangannya terus bergerak menciptakan garis-garis yang perlahan membentuk sebuah gambar. Ia mulai menggambar suasana kafe, detail demi detail, dari cangkir-cangkir kopi hingga ekspresi para pengunjung. Untuk pertama kalinya sejak lama, Rani merasa damai. Waktu berlalu tanpa ia sadari, hingga tiba-tiba sebuah suara mengejutkannya.
“Maaf, boleh saya duduk di sini? Meja lain sudah penuh.”
Rani mendongak dan melihat seorang pria muda berdiri di hadapannya, tersenyum ramah. Matanya yang cokelat memancarkan kehangatan yang aneh. Rani mengedarkan pandangan ke sekeliling kafe dan baru menyadari bahwa tempat itu kini telah dipenuhi pengunjung. Ia mengangguk, mempersilakan pria itu duduk.
“Terima kasih,” ujar pria itu sambil meletakkan cangkir kopinya di meja. “Omong-omong, gambar Anda bagus sekali. Saya jarang melihat orang yang bisa menangkap esensi suatu tempat dengan begitu detail.”
Rani tersentak, baru menyadari bahwa sketsa yang ia buat tadi ternyata adalah gambar suasana kafe ini. “Oh, terima kasih. Ini hanya coretan iseng,” jawabnya malu-malu, berusaha menutupi rasa bangga yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.
“Saya Andi,” pria itu memperkenalkan diri, mengulurkan tangannya. “Anda seorang seniman?”
“Rani,” balasnya, menjabat tangan Andi. Kehangatan dari jabatan tangan itu seolah menjalar ke seluruh tubuhnya. “Bukan, saya hanya desainer grafis biasa.”
“Hanya?” Andi mengangkat alisnya. “Tidak ada yang ‘hanya’ dalam dunia kreatif, Rani. Setiap karya adalah ekspresi jiwa pembuatnya.”
Percakapan mereka mengalir dengan mudah. Rani menemukan dirinya bercerita tentang pekerjaannya, tentang bagaimana ia merasa terjebak dalam rutinitas yang membosankan. Ia bahkan menceritakan mimpi-mimpinya yang dulu, yang kini terasa begitu jauh. Andi mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali memberikan tanggapan atau pertanyaan yang membuat Rani berpikir.
“Mungkin yang Anda butuhkan adalah melihat pekerjaan Anda dari sudut pandang yang berbeda,” ujar Andi. “Setiap proyek, setiap desain, adalah kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Itu bukan rutinitas, tapi petualangan kreatif. Bayangkan berapa banyak orang yang akan terpengaruh oleh karya Anda, berapa banyak emosi yang bisa Anda bangkitkan melalui desain Anda.”
Kata-kata Andi menggugah sesuatu dalam diri Rani. Ia mulai melihat pekerjaannya bukan sebagai beban, tapi sebagai kesempatan untuk mengekspresikan kreativitasnya, untuk membuat perbedaan dalam hidup orang lain melalui karyanya. Mereka terus berbincang hingga langit di luar sana telah gelap sepenuhnya, membahas seni, kehidupan, dan impian-impian yang sempat terlupakan.
Ketika akhirnya mereka berpisah, Rani merasa ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Pertemuan tak terduga ini telah membuka matanya, mengingatkannya kembali pada passion yang sempat ia lupakan. Sambil melangkah pulang, Rani tersenyum. Kota yang tadinya terasa asing kini tampak penuh warna dan kemungkinan.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Rani membuka laptop dan mulai membuat sketsa digital. Idenya mengalir deras, memenuhi kanvas digital dengan warna dan bentuk yang selama ini terpendam dalam dirinya. Ia tertidur dengan senyum di wajahnya, bersiap menyambut hari esok dengan antusiasme yang telah lama hilang.
Keesokan harinya, Rani melangkah masuk ke kantornya dengan semangat baru. Ia memandang meja kerjanya bukan sebagai penjara, tapi sebagai panggung untuk kreativitasnya. Dan di sudut mejanya, ia meletakkan sebuah cangkir kopi dari kafe semalam, sebagai pengingat akan pertemuan yang telah mengubah perspektifnya.
Penulis: Sarah Rahayu
Editor: Elpa Nabila