“Apa?! Lamaran saya ditolak, Tadz?!” seru Ari tak percaya, “kenapa?”
“Murobbi Aina mengatakan Aina tidak menyebutkan alasannya.”
“Harus ada alasannya. Sudah banyak laki-laki yang ditolak tanpa alasan olehnya,” sungut Ari tidak terima.
Ustadz Furqan mengernyit, “Kamu tahu dari mana?” mendadak Ari gelagapan. Dia tidak menjawab, “mungkin memang belum jodoh. Insya Allah ada jodoh yang lebih baik buat kamu yang sudah dipersiapkan Allah.”
Ari tidak bisa membiarkan dirinya ditolak tanpa alasan. Harus ada alasan jelas mengapa dirinya ditolak oleh Aina. Begitu tinggikah kriteria calon suami Aina hingga lelaki yang sudah mantap dan mapan seperti dirinya pun ditolak, pikirnya.
Tampan. Sholeh. Karir mantap. Apa yang kurang?
Kurang istri!
Semua orang nyaris berpikir bahwa Ari Ramdhani, seorang trainer dan pengusaha muda yang sukses, akan mudah mendapatkan istri cantik dan sholehah. Banyak akhwat cantik nan sholehah yang mengantri berharap dipinangnya, tapi tak ada satu pun dari mereka yang sreg di hati Ari. Hanya satu yang Ari rasa mantap untuk dipinangnya, Aina Nur Halida.
Hati lelaki mana yang tidak bergetar jika bertemu dan dengan akhwat sholehah ini. Lakunya yang sopan, akhlaknya yang baik, rupanya yang cantik, menjerat hati para lajang. Banyak yang melamar gadis berjilbab ini, tapi semua ditampiknya. Tak ada yang tahu alasannya.
Ari sudah mendengar semua itu. Akan tetapi, hatinya tak gentar. Dengan percaya diri, dia menyerahkan proposalnya pada sang murobbi, Ustadz Furqan, untuk diserahkan pada Aina. Dia tak takut akan penolakan Aina. Namun, nyatanya, nasib Ari setali tiga uang dengan lelaki sebelumnya.
***
Handphone Aina berbunyi. Dia mengerutkan kening saat melihat layarnya.
“Kang Ari?” Aina mengangkat telepon itu, “Assalamu`alaikum.”
“Wa`alaikumussalam. Aina, saya sudah dapat jawaban kamu. Afwan sebelumnya, tapi saya belum tahu alasan kamu menolak saya. Boleh saya tahu?”
Aina diam. Bibirnya menyunggingkan senyum, “Tidak ada alasan khusus, Kang. Saya sudah istikharah, tapi saya tidak mendapatkan kemantapan hati untuk meneruskannya. Jujur, saya tidak bisa menikah dengan lelaki mana pun kalau hati saya tidak mantap.”
“Hanya itu?” Aina tak menjawab, “Apa saya masih ada kesempatan untuk mendapatkan kemantapan itu? Saya masih ingin berikhtiar.”
Aina tidak paham, “Afwan, Kang, saya tidak mengerti.”
“Nanti kamu juga mengerti. Assalamu`alaikum.”
***
Suatu hari sepulang kuliah, Aina merebahkan tubuhnya yang lelah setelah seharian berkutat di kampus. Angin berhembus sejuk dari arah kipas angin. Hampir dia terlelap jika saja handphone-nya tak berdering. Aina bangkit dan merogoh tas lalu mengambil handphone–nya. Telepon dari rumahnya di Cirebon.
“Assalamu`alaikum, Ummi.”
“Wa`alaikumussalam wr. wb. Na, bagaimana kabar kamu di sana?”
“Alhamdulillah baik, Mi. Ada apa, Mi?”
“Da, Ummi sreg sama dia.”
Aina bingung, “Sreg? Sreg sama siapa, Mi?”
“Itu, lho, sama Nak Ari, Ari Ramdhani.”
Tersentak Aina mendengar nama itu, “Kang Ari?! Kang Ari ke rumah?!”
“Iya. Katanya dia sedang mengisi acara training di Cirebon terus main ke sini,” Ummi Aina begitu bersemangat menceritakan Ari. Tampaknya hati Ummi Aina terpikat olehnya. Beliau menyanjung-nyanjung dia sepanjang pembicaraan.
Sementara itu, Aina berkutat dengan batinnya sendiri, “Dari mana dia tahu rumah saya di Cirebon? Apa ini yang dimaksud Kang Ari? Mendekati orang tua saya? Masya Allah.”
“Na, kemarin Nak Ari cerita sama Ummi dan Abi kalau dia ingin melamar kamu jadi istrinya. Bagaimana, Na?”
“Mi, begini,” Aina menceritakan lamaran Ari dan penolakannya lalu.
“Iya. Ummi sudah dengar itu dari Nak Ari sendiri. Kamu ini bagaimana, Na? Orang Nak Ari ini sholeh, tampan, dan mapan. Apa lagi coba yang kurang?”
“Memang, Mi. Tapi, setelah istikharah, Aina merasa tidak mantapsaja menerima dia. Tidak tahu kenapa. Aina tidak mau melawan apa kata hati Aina.”
“Coba pikirkan lagi, Na,” Ummi Aina memohon.
Aina terdiam. Dia menghela nafas. Terdengar ada harapan di balik kalimat sang bunda tercinta, “Yach, udah, Aina pikirkan lagi dan istikharahkan lagi.”
***
Ari tak akan semudah laki-laki lain menerima penolakan Aina dan menyerah begitu saja. Baru ditolak satu kali, takkan bisa semudah itu menyurutkan niat pemuda 25 tahun ini untuk mempersunting Aina. Dia begitu mantap ingin menjadikan Aina sebagai bidadari penentram hidupnya. Tak ada yang lain.
Bukan sekali atau dua kali Ari mendatangi orang tua Aina. Hampir tiap akhir pekan Ari pergi ke Cirebon bertandang ke rumah orang tua Aina. Tak bisa mendekati si akhwat, dia dekati keluarganya. Berbagai manuver pendekatan dia lakukan.
Suatu hari, Ari menerima pesan singkat dari Aina.
“Assalamu`alaikum. Kang Ari, bisa ke Cirebon hari minggu ini? Ada yang ingin saya bicarakan. Syukran,” begitu isi pesan Aina.
Ada buncah kebahagiaan dan debar tak karuan di dada Ari. Dengan cepat, dia membalas pesan Aina dan memberitahu bahwa dia bersedia memenuhi permintaan Aina tersebut.
Hari minggu tiba dan Ari meluncur sedari shubuh menuju Cirebon. Ari duduk tenang di ruang tamu kediaman orang tua Aina. Aina keluar sambil membawa nampan yang berisi dua cangkir teh dan dua stoples cemilan. Dia menaruh semuanya di atas meja lalu duduk di hadapan Ari. Pertama-tama keduanya berbasa-basi terlebih dahulu. Setelah dirasa basa-basi cukup, Ari langsung to the point.
“Apa yang membuat kamu minta saya datang ke sini, Na?”
“Untuk memberikan jawaban atas lamaran Akang yang kedua kalinya.”
Ari tersenyum, “Apa sekarang kamu sudah mantap?”
Aina menundukkan pandangannya, “Sudah.”
“Alhamdulillah,” seru Ari bahagia.
“Saya mantap atas jawaban saya yang dulu, Kang.”
“Apa?” kebahagiaan Ari sirna, “maksud kamu?”
“Saya tidak bisa menerima lamaran Akang. Saya tidak mantap menikah dengan Akang.”
“Tapi kenapa?”
“Tidak ada alasan khusus, Kang. Berkali-kali saya istikharah, berkali-kali itu juga saya tidak mantap untuk menerima Akang sebagai suami saya. Afwan.”
Ari menyandarkan tubuhnya ke punggung sofa, “Saya tidak menerima penolakan tanpa alasan.”
“Apa tidak cukup, Kang, jawaban dari Allah itu?”
Ari melipat kening. Dia memajukan kembali tubuhnya, “Maksud kamu?”
“Akang tidak yakin dengan sholat istikharah?” Ari semakin tak paham, “Kang,” dengan kepala masih menunduk, Aina menjelaskan, “saya percaya keyakinan saya untuk melangkah maju atau mundur atas sebuah keputusan setelah istikharah. Jika Kang Ari yakin dengan istikharah maka kenapa Akang masih mempertanyakan alasan saya menolak Akang? Apa tidak cukup dari jawaban Allah itu?”
Ada sebuah tamparan keras yang dirasa Ari di hatinya. Dia tertunduk malu, “Saya tidak mau mengawali pernikahan dengan keragu-raguan. Sungguh belum ada kekurangan yang saya temukan di diri Kang Ari, tapi saya benar-benar tidak bisa menerima lamaran Kang Ari. Mungkin telah dituliskan dalam Lauh mahfuz untuk Akang, jodoh yang lebih baik dari saya. Afwan.”
Ari tertegun. Dia pulang dengan hati hampa. Ada bagian hatinya yang merasa tersentil dengan pernyataan-pernyataan Aina. Dia mendadak merasa kecil dan tidak berarti di hadapan Aina. Nama besarnya seakan redup seketika.
***
Ari tepekur di tengah mesjid. Semalaman, sepulangnya dari Cirebon, Ari berdiam diri di bawah kubah Allah. Ustadz Furqan mendapatinya. Beliau menghampiri.
“Assalamu`alaikum!”
Ari terkesiap. Dia menengadah, “Wa`alaikumussalam.”
“Kamu kenapa, Ri?” Ustadz Furqan bersila di samping Ari. Ari bergeser menghadap Ustadz Furqan. Dia tak berani menatap murobbinya itu, “Ada yang mau kamu ceritakan?”
Ari ragu, tapi dia tepis keraguannya. Dia ceritakan semuanya. Dia berkisah tentang pendekatan dirinya pada keluarga Aina dan jawaban Aina yang sama untuk kedua kalinya. Tak luput dia ceritakan mengenai kekecewaan yang menyelimuti hatinya. Kekecewaan pada dirinya.
“Saya merasa tersentil dengan kata-kata Aina, Tadz,” Ari menutup kisahnya.
Ustadz Furqan manggut-manggut, “Tidak salah sama sekali kamu berikhtiar, tapi kamu harus bertanya kembali pada diri kamu, kenapa kamu begitu gigih ingin mempersitri Aina,” mata Ari bergulir menatap Ustadz Furqan, “apa karena keyakinan kamu bahwa Aina akan menjadi istri yang baik? Atau apa karena kamu ingin menunjukkan bahwa kamu mampu menaklukkan akhwat yang sudah menolak belasan lelaki?” Ari menundukkan pandangannya kembali.
“Hati-hati, Ri! Syetan begitu lihai mempermainkan hati manusia yang lemah ini. Kembali saya mengingatkan hati-hati dengan nama besar yang sekarang sudah kamu miliki. Semua nikmat yang kamu miliki sekarang bisa menjadi bumerang untuk kamu. Jangan mentang-mentang kamu sudah memiliki nama besar dan semua akhwat mengantri ingin dipinang oleh kamu maka kamu berpikir tidak akan ada akhwat yang menolak kamu. Jangan pikir kamu bisa menaklukkan akhwat manapun dengan semua yang kamu miliki, sampai-sampai kamu lupa bahwa tetap saja penentu akhir semua ikhtiar manusia adalah Allah. Hampir kamu lupakan itu dan syukur Alhamdulillah Aina mengingatkan kamu.”
Ari menarik nafas dalam-dalam. Mulutnya komat-kamit mengucap istigfar sebanyak-banyaknya, “Menikah itu bukan suatu permainan, Ri. Menikah itu bukan masalah kamu bisa menaklukan atau ditaklukan. Menikah itu ibadah kita pada Allah. Tidak main-main, Menikah itu setengah dari dien. Luruskan niat kamu menikah itu untuk ibadah bukan sebagai tanda kamu berhasil menaklukan seorang akhwat, bukan suatu piala kesombongan. Kalau ada sedikit niat kamu menikah itu selain ibadah, mundur! Jangan coba-coba kamu maju melamar seorang akhwat!”
“Iya, Ustadz,” ujar Ari sambil manggut-manggut, “saya khilaf.”
“Manusia memang tempatnya khilaf, Ri,” Ustadz Furqan menepuk bahu Ari, “segeralah bertaubat dan kembali luruskan segala niat kamu dalam menapaki kehidupan ini hanya ibadah karena Allah. Kamu harus sadar bahwa kamu adalah sasaran empuk bagi syetan-syetan. Banyak celah yang bisa dimasuki syetan-syetan itu untuk meruntuhkan iman kamu. Mereka menjelma menjadi diri kamu yang lain, sebagai hawa nafsu kamu. Jadi, yang kamu harus taklukan bukan orang lain, tapi diri kamu sendiri.”
***
Ari berusaha memurnikan kembali niatnya menikah. Dia tanamkan nasihat Ustadz Furqan ke dalam sanubarinya. Niatnya kini ikhlas hanya karena tanda takwa dirinya pada Yang Maha Pencipta. Dia menyatakan kesediaannya untuk menikah dengan niat semata karena Allah, tak ada yang lain, kepada sang murobbi.
“Benar sekarang kamu ikhlas menikah hanya karena Allah?”
Ari menjawab dengan tegas dan mantap, “Insya Allah saya sekarang ikhlas menikah hanya karena Allah, Tadz.”
Ustadz Furqan tersenyum, “Alhamdulillah,” Ustadz itu lantas mengeluarkan tiga buah amplop cokelat. Dia taruh di hadapan Ari, “Ini.”
“Ini apa, Tadz?”
“Kemarin saya diminta untuk mencarikan jodoh bagi ketiga akhwat ini. Coba kamu lihat, Kamu istikharahkan, dan pilihlah mana akhwat yang menurut kamu cocok dengan kamu. Bawalah pulang!”
Ari mengambil ketiga amplop tersebut dan membawanya pulang. Selama tiga malam berturut-turut Ari menegakkan sholat istikharah. Dia serahkan pilihan terbaik bagi setengah dien-nya pada Sang Pemilik Jagat ini.
Suatu malam seusai sholat istikharah, Ari mengambil ketiga amplop tersebut. Dari sejak di rumah Ustadz Furqan sampai kini, Ari sama sekali belum membuka amplop-amplop itu. Ada kata hati yang menyuruhnya membuka ketiga amplop itu dan melihat siapa akhwat yang ada di dalamnya. Namun, kata hatinya yang lain menegur.
“Mana tekad kamu untuk ikhlas menikah hanya karena Allah?” begitu kata hatinya.
Setelah bergelut antara kedua kata hati tersebut, Ari kembali memasukkan ketiga amplop itu ke dalam tasnya. Namun, tak berapa lama, Ari mengambilnya lagi. Dia pandangi untuk beberapa waktu. Ada satu amplop yang dia tarik. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja dia yakin dengan amplop yang dipegangnya. Tanpa membuka amplop itu, dia berucap, “Bismillah. Saya pilih kamu, wahai akhwat sholehah.”
***
“Kamu tidak mau membuka dulu dan melihat siapa di dalam amplop ini?”
Ari menggeleng mantap, “Jika ustadz menjamin bahwa ketiga akhwat yang ada dalam amplop itu sholehah dan bisa menjadi istri yang baik maka saya ikhlas.”
Ustadz Furqan puas mendengar jawaban mantap mutarobbinya, “Baik,” Ustadz Furqan memasukkan kedua amplop yang tidak dipilih Ari ke dalam tasnya, “Saya akan menindaklanjuti pilihan kamu ini,” ujar Ustadz Furqan yang bersila di depan mimbar mesjid. Beliau merobek bagian atas amplop. Jantung Ari berdebar kencang. Beliau tarik isi amplop. Dia tersenyum tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
Berhari-hari Ari menunggu. Belum ada kabar. Hatinya gundah gulana. Selama menunggu, dia mempersiapkan hatinya. Kali ini dia harus siap dengan penolakan. Kalaupun diterima, dia harus siap menerima siapa pun calon ibu dari anak-anaknya itu.
Handphone Ari memekik singkat. Ada pesan singkat dari Ustadz Furqan. Isinya, “Assalamu`alaikum. Ari, datanglah ke rumah sore ini,” jantung Ari mendadak berdetak kencang. Ada desiran tak biasa di hatinya. Kegelisahannya semakin menjadi.
“Barakallah, Anakku!” Ustadz Furqan berhambur memeluk Ari sedatangnya Ari ke kediamannya. Ari bengong, “Duduk!”
“Syukran, Tadz. Bagaimana, Tadz?”
“Alhamdulillah, Ri, lamaran kamu diterima oleh akhwat itu. Keluarganya meminta kamu segera datang bersama keluarga untuk secara resmi mengkhitbah akhwat itu.”
“Alhamdulillah. Kalau boleh saya tahu, siapa akhwat itu dan di mana rumahnya?”
“Kamu pasti tidak akan percaya siapa akhwat itu.”
“Memang kenapa, Tadz?”
“Kamu pasti mengenalnya.”
“Saya kenal, Tadz?”
“Iya. Akhwat yang kamu pilih amplopnya adalah Laili Hasna Nuriah.”
“Apa, Tadz?! La…Laili Hasna Nuriah?” Ari tergagap. Dia terperanjat mendengar nama akhwat calon istrinya itu. Ustadz Furqan mengangguk mantap, “Allahuakbar!”
Bagaimana Ari tidak terkejut mengetahui siapa sebenarnya akhwat yang hendak dikhitbahnya. Akhwat yang bernama Laili ini tidak lain dan tidak bukan adalah adik tingkatnya di kampus. Laili bukan akhwat sembarang. Semua orang mengenal Laili. Dia adalah seorang penulis buku anak sekaligus ustadzah muda yang sering mengisi pengajian-pengajian kampus. Rupanya yang cantik menawan dan akhlaknya yang jempolan membuat banyak laki-laki ingin memperistrinya dan banyak perempuan iri padanya. Dia sama sekali tak kalah dengan Aina.
Tanpa harus bersusah payah menaklukkan akhwat jempolan ini, Allah telah menaklukkannya untuk Ari sebagai balasan atas keikhlasannya. Ari merasa kecil. Tak pantas dirinya yang masih berlumur arogansi di balik nama besarnya mendapatkan akhwat sesholehah Laili, begitu pikirnya. Namun, Ustadz Furqan meyakinkan bahwa skenario Allah itu terkadang di luar nalar manusia. Tak ada yang tak mungkin. Yang menurut manusia tak sepadan, mungkin lain di mata Allah.
Pada akhirnya, dengan kemantapan hati disertai sandaran keikhlasan, Ari maju mengkhitbah Laili. Sebulan setelah pengkhitbahan, keduanya bersanding di atas pelaminan sebagai sepasang suami-istri yang insya Allah diridhoi oleh Al Mujiibu, Yang Maha Memperkenankan.
oleh : Revika Rachmaniar