Obat! Mungkin kalian sudah tak asing lagi mendengar kata ini. Ya, benda inilah yang pertama dicari saat kita merasakan sakit. Tapi, apa kalian tahu bagaimana obat yang bentuknya kecil itu dapat menyembuhkan penyakit? Bagaimana bisa obat yang hanya digunakan di bagian luar tubuh (contoh: kulit), tetapi bisa menyembuhkan sakit yang terjadi di dalam tubuh? Bagaimana obat yang kita minum dan masuk ke pencernaan bisa menyembuhkan sakit yang ada di kepala? Penasaran? Simak yuk sedikit penjelasan berikut!
Setelah obat masuk ke dalam tubuh, obat mengalami fase absorbsi yaitu fase penyerapan di mana partikel-partikel obat akan bergerak menuju cairan tubuh. Saat partikel-partikel obat telah masuk ke dalam cairan tubuh, maka akan terjadi fase distribusi. Pada fase distribusi inilah obat sangat berperan penting. Obat yang berada pada cairan tubuh ini didistribusikan ke seluruh tubuh oleh aliran darah. Saat distribusi inilah obat akan berinteraksi dengan komponen makromolekul fungsional dari organisme.
Pada permulaan abad ke-20, Ehrlich dan Langley menyatakan bahwa suatu obat harus berinteraksi dengan suatu receptive subtance (reseptor) pada jaringan untuk menghasilkan efek pada jaringan tersebut. Clark (1973) menyatakan bahwa molekul obat berikatan dengan reseptor-reseptornya pada kecepatan yang proporsional dengan konsentrasi obat dalam larutan dan jumlah reseptor bebas.
Secara umum, reseptor obat dapat diartikan setiap molekul target yang harus diikat oleh obat supaya obat tersebut dapat menghasilkan efek yang spesifik. Dengan demikian, reseptor dapat diartikan sebagai tempat kerja obat “site of action”. Jadi, secara sederhana obat yang kita minum memiliki molekul-molekul tersendiri yang akan berikatan dengan reseptor spesifiknya. Akibat kerja obat pada reseptor tersebut akan menghasilkan efek yang diinginkan. Namun, terdapat pula obat-obat yang dapat dikatakan bekerja tanpa berikatan dengan reseptor. Contoh obat yang bekerja secara non-spesifik ini antara lain anestetik umum yang mudah menguap dan antasida (obat penetralisir asam lambung).
Tetapi perlu kalian ketahui, obat akan bekerja efektif jika jumlah obat (dosis) yang tersedia dalam tubuh mencukupi untuk berinteraksi dengan reseptor obat, sehingga dosis yang diberikan haruslah tepat. Bila dosis yang tersedia kurang, maka respon yang dihasilkan pun kurang maksimal dan bila berlebih akan berbahaya.
Mengapa berbahaya?
Setelah obat mengalami fase distribusi, obat akan mengalami fase metabolisme, yang mana organ hati sangat berperan penting pada fase ini. Apabila jumlah obat yang tersedia berlebih (overdosis), maka hati akan bekerja lebih berat, sehingga hati dapat bekerja tidak sempurna dan menghasilkan produk yang berbahaya bagi tubuh.
Oleh karena itu, patuhilah aturan pakai obat dengan benar. Sayangi tubuhmu. Kalau bukan kamu siapa lagi? Kalau tidak dari sekarang, kapan lagi?
Sumber: Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: EGC
Penulis,