Aku kesal dengan lelaki yang bernama Dhana Ardiansyah. Dia bohong padaku. Dia mengingkari janjinya. Ingin rasanya aku memakinya. Namun, semua itu hanya berujung tangis bagiku. Selalu kembali kucari beribu alasan positif mengapa dia melakukan semua itu padaku. Pada akhirnya aku berusaha bersabar dengan hubungan kami berdua.
Beberapa bulan yang lalu, aku memutuskan untuk mengubah hidupku 180 derajat. Aku ingin memiliki hidup yang jauh lebih baik. Aku lelah dengan kehidupan hura-hura yang membuat hidup dan hatiku hampa. Aku mulai menutup aurat, mulai memakai jilbab, mulai merubah laku, mulai mendalami agamaku, mulai semua dari nol.
Di saat aku ingin mengubah hidupku, seorang sahabat, Arni, memperkenalkanku dengans seorang lelaki bernama Dhana Ardiansyah, saudara sepupunya.
“Semoga lelaki ini bisa membantumu untuk menjadi akhwat yang lebih baik lagi,” ujar kawanku itu. Dia berencana menjodohkanku dengan Dhana dengan jalan yang bernama ta`aruf—perkenalan. Aku tidak paham bagaimana ta`aruf itu. Ini adalah sebuah kata yang baru aku kenal belakangan. Aku menurut saja karena yang aku tahu Arni memiliki niat baik dan Dhana memiliki laku yang baik dan sangat menghargaiku. Aku putuskan untuk menerima ta`arufnya.
Aku ikut saja arahan Arni untuk mengenal Dhana lebih jauh. Namun, belum ada dua bulan, ternyata Dhana harus pergi ke luar negeri, tepatnya ke Sidney, untuk melanjutkan pendidikan magisternya. Dia sendiri tidak menyangka beasiswanya secepat itu diterima. Oleh sebab itu, dengan terpaksa ta`aruf kami tertunda.
Dhana mengatakan tidak bisa melepaskan kesempatan untuk melanjutkan kuliahnya. Dia membebaskan aku apa aku akan melanjutkan ta`aruf kami kelak atau jika ada lelaki yang lebih baik datang meminangku, aku menerimanya. Ketika itu aku sudah sangat nyaman bersamanya. Aku sudah mulai menyukainya. Aku memutuskan untuk menunggunya. Lagipula, aku pun harus menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Semua akan mudah, pikirku. Dhana juga mengatakan kalau kami masih bisa berkomunikasi jarak jauh. Aku percaya saja. Akan tetapi, kenyataannya berbeda.
Aku sulit menghubungi Dhana. Dhana tidak pernah menghubungi aku. Semua komunikasiku terputus dengannya. Ke mana dia? Aku tidak tahu.
“Kamu mau-maunya digantung,” ujar teman sekosanku sekaligus sahabatku, Tita, “Mintalah kepastian padanya tentang hubungan kalian. Aku aneh denganmu. Mau-maunya tidak diberi status,” aku tidak menanggapi, “Apa itu ta`aruf? Hubungan tidak jelas. Yang jelas seperti aku. Aku jelas-jelas pacarnya Arbi. Arbi milikku. Aku milik Arbi. Tidak ada yang bisa mengganggu-gugat. Kamu? Dhana? Hubungannya apa? Teman? Pacar? Tunangan? Tidak ada, kan? Minta kepastiannya. Tembak dia saja! Kalau dia masih tetap menggantung hubungan kalian, cari lelaki lain yang mau serius denganmu. Dhana sepertinya tidak serius denganmu. Kalau dia serius denganmu, dia tidak akan menggantungmu seperti ini,” Aku masih diam di depan laptopku. Aku sedang menyelesaikan skripsiku saat mendapat ceramah dari sahabatku yang satu itu, “Apa yang dia tawarkan padamu? Menunggu dia tanpa status atau memilih laki-laki lain? Itu, sih, dia pengen cari yang lain di sana,” Aku mulai goyah dengan keputusanku untuk tetap menunggunya ‘tanpa status’.
“Ta,” suara Ibu kos memanggil, “Ada Arbi datang.”
Tita meletakkan majalah yang sedari tadi dibacanya di atas meja kecil sebelah ranjang. Dia lantas bangkit dan pergi keluar kamar sembari berseloroh, “Pacaran dulu, yach?”
Hatiku jujur panas mendengar kata dan sindiran Tita. Jujur, aku iri padanya. Dia bisa bersama dengan lelaki yang dia sukai. Dia bisa bertemu kapan saja dengan kekasihnya. Dia bisa bermesraan dengan pacarnya menumpahkan segala cintanya. Ingin aku seperti itu dengan Dhana, tapi tidak. Dhana tidak memberikan status padaku seperti Arbi pada Tita yang jelas saling memiliki dan tidak ada yang bisa mengganggu-gugat hubungan mereka. Sementara aku dan Dhana, benar kata Tita, aku bisa leluasa mencari pria lain, Dhana pun di sana bisa leluasa mencari wanita lain. Kami sama sekali tidak ada ikatan apa-apa, seperti Tita dan Arbi. Aku mulai goyah dengan hubungan ‘tidak jelas’ aku dengan Dhana.
***
“Bersabarlah,” Kalimat itu yang dilontarkan Arni padaku ketika aku menceritakan bagaimana Tita menceramahiku. Arni malah tertawa geli, “Sebenarnya yang tidak punya ikatan jelas itu mereka,” lanjutnya santai sembari menyantap sup kaki sapi yang kami pesan di kantin kampus, “Nad, yang mencintai kamu itu bukan orang yang selalu mengumbar kata mesra di hadapanmu. Yang menyayangi kamu bukan dia yang selalu mengatakan seberapa besar dia mencintaimu. Ketulusan cinta tidak perlu diperlihatkan depan orang banyak agar mereka tahu kamu cintanya.
Ketulusan cinta itu saat dia mampu membuktikan seperti apa ia mampu setia dan melindungi kamu serta bertanggung jawab untuk menghalalkanya bukan sekedar cinta pelampiasan semata.”
“Aku merasa digantung tidak jelas dengan hubungan aku dengan Dhana.”
Arni tersenyum, “Dia sedang melindungi kalian berdua, Nad.”
“Hmm?” Aku berhenti menyuapkan sup itu ke dalam mulutku, “Maksudnya?”
“Nad,” Arni menatapku dalam-dalam, “Apa aku sahabat kamu?” Aku mengangguk, “Apa kamu percaya kalau aku tidak akan menjerumuskanmu ke dalam hal yang tidak baik?” Aku kembali mengangguk, “Kalau begitu percayalah kata-kataku. Bersabarlah dengan hubunganmu dan Dhana yang menurut orang lain tidak jelas. Bersabarlah dengan hubungan kalian maka kamu akan mengerti semuanya. Bertahanlah. Sekarang kau fokus untuk memperbaiki dirimu menjadi sosok akhwat yang lebih baik saja. Jangan fokus pada kata-kata orang! Jangan fokus pada Dhana dan hubungan kalian! Allah tahu waktu yang paling tepat untuk kalian bersama kalau kalian berjodoh. Kalau kalian tidak berjodoh maka insya Allah akan ada lelaki yang jauh lebih baik dan lebih pantas untukmu. Asal kamu tetap berada di jalan-Nya. Hmm?” Aku melepaskan seulas senyum dan mengangguk kembali.
Setelah bertemu dengan Arni, keyakinan dan kemantapan hatiku untuk tetap di jalur-Nya kembali tertancap kokoh. Man jalis Janis. Ketika kita berkumpul dengan penjual minyak, kita akan bau minyak. Ketika kita berkumpul dengan penjual parfum, kita akan bau parfum. Ketika kita berkumpul dengan orang sholeh, kita akan ikut sholeh. Aku tidak lagi memikirkan ceramah Tita lagi tentang hubunganku dengan Dhana.
Sepulang kuliah sore itu, aku melihat Tita dan Arbi sedang bersenda gurau sembari berpegangan tangan di teras belakang kosan. Sekejap iriku muncul, tapi aku ingat kata Arni.
“Lebih baik ditusuk jarum besi daripada pegangan tangan dengan wanita yang bukan mahramnya. Itu, lho, yang Rasul katakan. Jadi, santai aja melihat orang yang pegangan tangan. Mereka itu rugi berat.”
Mereka lantas berangkulan mesra. Aku menghela nafas.
“Allah itu melarang kita mendekati zina seperti pegangan tangan, berpelukan, dan hal-hal tercela seperti itu karena ujung-ujungnya tidak jauh dari zina yang sesungguhnya yang punya nilai dosa lebih besar,” kalimat itu kembali terngiang di telingaku, “Allah itu sayang sekali dengan hamba-Nya sampai-sampai dicegah untuk jauh-jauh dari dosa besar.”
Aku beristigfar dan bergegas pergi. Aku bertahan sekuat tenaga untuk tetap fokus pada perbaikan diriku menjadi manusia yang lebih baik di mata-Nya. Tidak fokus dengan apa omongan orang dan tidak fokus lagi pada hubunganku dengan Dhana. Aku membiarkan Dhana tidak menghubungiku dan menahan diri untuk tidak memikirkan semua kemungkinan yang terjadi. Walaupun sesekali, aku merindukan sosok Dhana.
Dua tahun kemudian…
“Aku ingin mengkhitbahmu, Nadia,” sebuah kalimat terdengar indah setelah dua tahun aku menantinya, “Aku ingin menikahimu,” Aku termangu. Suara di ujung sana membuat aku gemetar dan jantungku berdegup lebih kencang.
“Kamu serius, Dhan?”
“Aku serius. Bukankah kamu belum dikhitbah orang lain?” Aku tidak menjawab, “Kalau kamu setuju, segera aku dan keluargaku datang ke rumahmu untuk mengkhitbahmu.”
“Tapi…”
“Tapi apa?” Tanya Dhana, “Apa sudah ada yang mendahului aku?”
“Aku mau tanya sesuatu.”
“Apa?”
“Kenapa kamu tidak menghubungiku selama ada di Sidney? Kamu bilang kita masih bisa berkomunikasi walaupun kamu di sana, tapi ternyata sama sekali tidak. Ada apa dengan kamu di sana?”
Tidak ada suara. Aku sabar menunggu. Beberapa detik menunggu jawabannya tidak seberapa dibandingkan menunggunya dua tahun ini.
“Karena aku ingin menjaga kita berdua, Nad,” Jeda beberapa detik, Dhana melanjutkan kembali kalimatnya, “Sejujurnya awal aku meninggalkan Indonesia, aku merindukan sosok Nadia, tapi aku tidak mau membuat hatiku dan hatimu berzina. Aku meninggalkan kamu dalam waktu lama. Aku belum bisa menikahimu dalam waktu dekat. Oleh sebab itu, aku tidak pernah menghubungimu. Aku menghabiskan waktu dengan teman-temanku di sana hanya untuk melupakan bahwa aku sangat merindukanmu. Aku tidak pernah mengubungimu juga karena aku tidak ingin kamu terlalu menaruh harapan padaku sehingga kamu menutup hati jika ada lelaki sholeh lain yang datang meminangmu. Aku ingin yang terbaik untuk kita berdua, Nad.”
Aku membisu. Tidak pernah aku sangka aku akan mendengarkan jawaban itu darinya.
“Nad, jika seorang lelaki mencintai wanita, pilihannya hanya dua,” Lanjutnya.
“Apa?”
“Segera meminangnya atau membiarkan lelaki sholeh lain menjemputnya. Tidak layak baginya memelihara nafsunya.”
Aku menitikkan air mata. Lidahku kelu untuk berkata-kata. Hatiku merasa tersentuh dengan apa yang telah dilakukan Dhana untuk kami berdua di jauh sana. Dia menahan dirinya untuk menghubungiku sementara dia merindukanku layaknya aku merindukan dia. Itu bukan hal yang mudah. Akan tetapi, dia lakukan itu semua untuk menjaga kami berdua. Dia membiarkan aku untuk memilih pria lain bila ada yang meminang sementara dia yang ta`aruf denganku terlebih dahulu. Semua dia lakukan untuk menjaga kami berdua, menjaga hati kami berdua.
“Nadia? Bagaimana? Jika kamu belum ada yang mengkhitbah, aku ingin melanjutkan ikhtiar kita berdua yang sempat tertunda dua tahun ini.”
Aku hanya terisak, tidak sanggup berkata apa-apa. Semua terjawab sudah kesabaranku menanti semua jawaban atas segala pertanyaanku selama dua tahun ini.
***
Genggaman tangannya menggetarkan hatiku. Kecupan di keningku mempercepat degup jantungku. Sebuah kenikmatan yang tiada terkira serta berpahala yang diberikan Allah untukku dan dia di ujung kesabaran dan penantian kami.
Aku tidak mau melepaskan genggaman tangannya selama di pelaminan. Aku tidak lagi mau jauh darinya walau sedetik. Aku ingin melepaskan kerinduanku yang terpendam selama dua tahun ini padanya. Seulas senyum di bibirnya, kerlingan sepasang mata beningnya, kelembutan hatinya, semua kini jelas milikku seorang. Tidak akan ada seorang pun yang mengganggu-gugat. Aku mendapat status yang sangat jelas. Aku istri Dhana Ardiansyah.
Akhirnya aku mendapatkan status secara sah di hadapan Allah sebagai istri Dhana. Sebuah rasa lega yang luar biasa. Setelah berpuasa sekian lama dari hawa nafsu yang ada akan cinta, akhirnya kami berdua berbuka bersama. Betapa indah dan nikmatnya cinta yang berlandas pada ridho Illahi. Aku bahagia.
Tita dan Arbi lain cerita. Keduanya putus di tengah jalan sebelum mencapai gerbang pernikahan. Aku lihat Tita terpuruk luar biasa kehilangan Arbi yang mengkhianatinya dengan wanita lain. Untuk beberapa lama Tita sulit membuka hati dan memaafkan Arbi.
Aku bersyukur saat itu tetap pada pendirianku untuk bersabar dengan hubunganku dengan Dhana yang tampak ‘tidak jelas’ di mata orang lain. Akan tetapi, hubungan kami-lah yang akhirnya berlabuh dalam ridho-Nya. Kini bayaran kesabaran kami begitu indah. Tidak pernah aku merasakan keindahan sebuah perasaan ini.
Dhana mencintaiku dengan cara-Nya. Dhana menyayangiku dengan cara-Nya. Dhana merindukanku dengan cara-Nya. Dhana menjagaku dengan cara-Nya.
“Terima kasih,” Bisikku pada suamiku tercinta.
“Untuk?” Tanyanya sembari menoleh padaku dengan tatapan sejuk.
“Menjaga kita berdua dengan cara-Nya.”
Dhana hanya tersenyum lantas mendaratkan kecup di keningku lagi, “Karena aku ingin semua indah dengan cara-Nya dan pada waktu-Nya.”
Aku tersenyum bahagia dan berbisik padanya, “You are my guardian angel.”
***
Oleh Revika Rachmaniar
Sumber Gambar : https://www.universumsum.de/media/images/org/autoaufkleber_Schutzengel_3.jpg