Move On…
Move On…
Move On…
Itulah yang terus terngiang di benak Kania. Dia menghela nafas dan mengirim sebuah pesan pada sahabatnya, “Do, aku mau kenal Angga lebih jauh.”
***
Lelaki itu setia menemaninya. Selepas jam empat sore, dia pasti sudah berada di kamar Flamboyan nomor 4. Walaupun tak ada senyuman manis menyambutnya kala masuk ke kamar itu, Angga tetap melempar senyum, “Hai, Kan,” Angga mendekat ke ranjang Kania. Dia menurunkan tasnya lalu menaruh sebuket bunga mawar putih kesukaan Kania di atas meja. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di sebelah Kania, “Bagaimana kabar kamu hari ini?” Tidak ada jawaban. Angga bangkit dan memperbaiki selimut Kania, “Cepat sembuh, yach, biar aku bisa mendengar tawa kamu lagi.”
Andi menutup kembali pintu kamar inap Kania. Dia urung menjenguk gadis yang selama ini dianggapnya sekedar sahabat. Ada sesal yang menyelimuti relung hatinya. Ada sesak di dadanya yang tidak dia pahami. Ada gemuruh yang tidak dia mengerti.
“Kenapa tidak masuk?”
Andi terkesiap, “Eh, kamu, Do.”
Andi pergi, Edo mengikuti.
“Kenapa terlihat kesal?”
“Tidak apa-apa.”
“Kamu cemburu melihat Angga setia menemani Kania?”
Andi melirik sinis Edo, “Tidak.”
“Perasaan kamu persis sama seperti perasaan Kania bertahun-tahun melihat kamu bersama Lisa,” Langkah Andi terhenti, begitu juga Edo.
“Maksud kamu apa?”
“Kania mencintai kamu selama bertahun-tahun. Dia pendam perasaannya dan menelan kecemburuannya mentah-mentah. Kamu menyadarinya, tapi kamu tidak mau mengakuinya. Kamu tidak ingin kehilangan cinta Lisa sekaligus kasih sayang Kania.”
“Bicara apa kamu ini, Do?!”
“Tidak usah berpura-pura lagi di hadapan aku, Ndi. Aku tahu semuanya,” Andi memalingkan wajahnya.
“Allah Maha Adil. Sekarang kamu merasakan perasaan Kania saat dia bersama Angga. Angga memberikan apa yang tidak kamu pernah berikan pada Kania,” Andi melirik tajam, “Cinta yang tulus. Dan, Angga tidak memberikan apa yang selama ini kamu berikan pada Kania. Kecemburuan.”
Andi diam membisu. Dia tidak bisa berkata apa-apa. Ada rasa kesal berkecamuk dalam dadanya karena merasa dilucuti oleh Edo. Akan tetapi, semua itu benar. Dia tidak bisa membantah. Dia menyadari keegoisannya selama ini.
Mendadak semua kenangan bersama Kania berkelebat di depan matanya seperti roll film yang diputar cepat. Dia teringat Kania rela sampai shubuh membantunya menyelesaikan presentasi proyeknya. Dia teringat Kania selalu ada saat dia sakit. Dia teringat Kania selalu mengorbankan urusan pribadi hanya untuk membantunya setiap waktu.
“Aku yang menyuruhnya melupakan kamu,” Kalimat Edo membuyarkan lamunannya, “Aku yang menyuruhnya membuka hati untuk Angga. Tampaknya aku tidak salah sama sekali. Kania bahagia bersama Angga. Semoga kebahagiaannya tidak hanya sampai di sini.”
Edo membalik badan dan berjalan kembali ke kamar Kania. Namun, sejenak dia hentikan langkah dan berkata tanpa membalikan badannya pada Andi, “Ndi, please, jangan usik kebahagiaan Kania.”
Senyap sekejap. Edo lalu melangkahkan kakinya lagi memasuki kamar Kania. Andi masih berdiri terpaku.
***
Andi benar-benar terusik oleh pembicaraannya dengan Edo sore itu. Dia sama sekali tidak fokus dengan pekerjaannya. Lisa sang kekasih pun diabaikannya. Dia menyadari sesuatu. Sesal yang menyelimuti relung hatinya adalah penyesalan mengapa Kania tidak lagi berada di sampingnya. Sesak di dadanya yang tidak dia pahami adalah kerinduannya pada Kania. Gemuruh yang tidak dia mengerti adalah kecemburuannya melihat Kania bersama lelaki lain.
Andi masuk perlahan ke kamar inap Kania. Dia melangkah mendekati Kania yang masih tertidur lelap. Dia mengambil kursi dan duduk di sebelah ranjang Kania.
Sehari sebelumnya dia melakukan operasi donor ginjal. Gadis berusia 25 tahun ini menderita gagal ginjal dan selama berbulan-bulan menunggu donor yang cocok dengannya. Penantian berbulan-bulan itu terjawab setelah beberapa hari yang lalu dokter mengatakan ada seseorang yang memiliki ginjal yang cocok dengan Kania. Operasi pun segera dilaksanakan dan Kania pun dapat diselamatkan.
Andi menatap wajah pucat gadis itu cukup lama. Ada debar yang berbeda dari biasanya.
“Apa sekarang Aku yang mencintai kamu, Kan?”
Kania menggeliat. Matanya mengerjap. Dia agak terkejut melihat Andi ada di sampingnya.
“Andi?”
Andi tersenyum, “Bagaimana kondisi kamu sekarang?”
“Alhamdulillah baik,” Kania mencari-cari sesuatu di belakang Andi.
“Kenapa?”
“Mana Lisa? Biasanya, kan, kalau ada kamu pasti ada Lisa.”
Andi menggelengkan kepala, “Aku sendirian ke sini.”
“Oh, tumben.”
Keduanya terjebak dalam hening beberapa waktu. Andi lantas membuka mulut, “Kan, apa kamu…” Tiba-tiba lidahnya tercekat. Peringatan Edo terngiang di telinganya, “Ndi, please, jangan usik kebahagiaan Kania.”
“Apa?”
“Apa kamu bahagia bersama Angga?”
“Kenapa kamu tanya itu?”
“Cuma ingin memastikan kalau sahabat aku ada di tangan orang yang tepat.”
Kania agak heran, tapi dia menepis tanda tanya mengapa Andi menanyakan hal tersebut. Kania tersenyum lantas mengangguk.
“Iya, aku bahagia bersama Angga.”
“Baguslah,” Andi tersenyum kecut.
Sejurus handphone Andi berdering. Andi segera merogoh kantung celananya. Dia bangkit dan agak menjauh dari Kania.
“Yach, halo?”
Seseorang di ujung telepon sana tampaknya mulai berbicara. Andi diam. Dia mendengarkan seksama orang itu. Wajah Andi perlahan berubah pucat pasi.
“Apa?!! Tidak mungkin Edo!!!”
Kania mengernyitkan kening. Dia melihat Andi panik. Andi mematikan handphone-nya.
“Ndi, kenapa? Ada apa dengan Edo?” Andi tampak bingung dan panik luar biasa. Dia bingung harus mengatakan apa pada Kania, “Ndi, kenapa dengan Edo?!” tanya Kania agak keras.
“Edo kritis.”
“Apa?!!”
Kania memaksa Andi membawa dirinya menemui Edo yang dikabarkan kritis di rumah sakit yang sama di mana Kania dirawat. Andi dan Kania mencari Edo seperti orang kesurupan. Keduanya terkejut bukan kepalang mendapatkan kabar sahabat mereka kritis. Padahal beberapa hari yang lalu Andi bertemu dengan Edo dalam keadaan sehat dan bugar.
Andi dan Kania mendapatkan kamar di mana Edo berada. Di depan kamar itu berkumpul kedua orang tua dan kakak Edo. Bergegas keduanya menghampiri mereka.
“Kak Edi!” Panggil Andi.
Laki-laki yang bernama Edi bangkit. Dia yang tadi menelepon Andi.
“Kak, kenapa bisa Edo seperti ini? Kemarin-kemarin dia masih sehat.”
“Dia tidak pernah sehat, Ndi,” Ujar Edi.
“Maksud Kak Edi apa?” Tanya Kania dengan bibir bergetar.
Edi berjongkok agar bisa sejajar dengan Kania yang duduk di kursi roda.
“Kania, sebenarnya selama ini Edo sangat mencintai kamu.”
Andi dan Kania terperanjat, “Apa?!”
“Hanya saja sejak duduk di bangku SMA, Edo sudah mengidap kanker otak. Sudah berbagai macam pengobatan dan operasi dilakukan, tapi tidak membuat Edo sembuh. Akhirnya Edo memutuskan untuk hidup normal tanpa memikirkan penyakit dan pengobatannya. Dia berusaha hidup layaknya tidak ada penyakit ganas di tubuhnya. Namun, kamu datang dan menyadarkan dia bahwa dia tidak bisa hidup lama untuk mencintai kamu.”
Andi agak bingung dengan apa yang dijelaskan Edi. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Edo dan Kania?
Kania meneteskan air mata. Dia teringat pembicaraannya dengan Edo beberapa bulan yang lalu di rumahnya.
…
“Kamu mesti move on, Kan. Tidak bisa selamanya mencintai Andi yang jelas-jelas mencintai Lisa. Kamu sampai kapan mau makan hati karena Andi? Buka hati kamu untuk orang lain. Coba cintai orang lain.”
“Siapa?”
“Angga. Dia sudah lama sabar menunggu kamu. Apa kamu tidak tersentuh dengan kesabaran dan ketulusan dia?”
Kania bergeming. Dia menunduk, memperhatikan kedua kakinya. Mulutnya perlahan bergerak, “Mungkin aku tahu siapa yang bisa membantu aku untuk move on.”
“Hmm?”
Kania mengangkat kepalanya lalu menatap Edo, “Kamu mau bantu aku?”
“Maksud kamu?”
“Do, cuma kamu orang yang mengerti aku dan bisa menerima kekurangan dan kelebihan aku.”
“Jangan, Kan!” Tolak Edo cepat, “Jangan aku!”
“Kenapa?”
“Kan, aku bukan pilihan. Bagiku kamu sudah seperti adik sendiri. Lebih baik kamu bersama Angga. Aku yakin kamu bisa bahagia bersama Angga.”
…
“Kan, Edo ingin mendonorkan seluruh organ tubuhnya yang masih bermanfaat untuk orang lain. Salah satunya adalah ginjalnya. Dia mendonorkannya untuk kamu.”
Kania terperangah. Andi terperanjat. Tanpa banyak basa-basi Edi meminta Andi dan Kania masuk untuk melihat kondisi Edo yang semakin kritis.
Edo bukan lagi lelaki gagah di atas ranjang pesakitan itu. Wajahnya pucat sepucat-pucatnya. Tidak ada gerakan sama sekali. Nafasnya dibantu oleh alat bantu nafas. Kania memanggil-manggil namanya, tapi tidak ada reaksi.
Kania mengambil tangan Edo. Dia genggam erat-erat.
“Terima kasih, Do. Kamu sudah memberikan kehidupan untukku. Aku tidak akan pernah melupakan kebesaran hati kamu. Do, aku mohon kamu bertahan.”
Mata Edo mengerjap. Perlahan terbuka dan menoleh. Mulutnya bergerak seraya memanggil Kania walaupun tidak terdengar sama sekali.
“Edo?”
“Kamu sudah sembuh?” Tanya Edo lirih.
Kania mengangguk, “Aku sudah sembuh. Sekarang kamu harus berjuang untuk sembuh, yach?” Edo tersenyum tipis, “Do, jadi karena semua ini kamu tidak mau menerima perasaan aku?”
“Aku tidak mau kamu sedih lagi,” Jawab Edo pelan, “Kamu harus bahagia.”
Andi tertampar mendengar kalimat Edo. Dirinya yang selalu menyakiti Kania masih menginginkan cinta Kania, sedangkan Edo yang jelas-jelas mencintai Kania melepaskan Kania demi membahagiakannya. Dia merasa sangat buruk di hadapan Edo dan Kania.
“Ndi,” Panggil Edo. Andi mendekatkan diri ke tubuh Edo. Edo membisikkan sesuatu, “Cinta itu memberikan kehidupan, bukan kecemburuan,” Andi terhenyak, “Tolong pastikan Kania bahagia. Dengan siapapun itu.” Gemetar Andi mendengar itu. Hatinya perih. Jiwanya terpukul. Dia menyadari sesuatu yang membuat dia semakin tidak berdaya.
Selama ini yang dilakukan Andi hanya membuat Kania cemburu setengah mati. Berbeda dengan Edo dan Angga. Edo memberikan kehidupan bagi Kania melalui ginjalnya. Angga memberikan kebahagiaan bagi kania melalui ketulusan dan kesabarannya. Keduanya tulus mencintai Kania. Andi hanya mengedepankan ego atas kecintaan pada dirinya sendiri.
“Aku janji Kania pasti bahagia dengan siapapun itu, Do.”
Edo tersenyum. Ada ketenangan menyergap ke relung jiwanya. Tugasnya telah selesai. Semua orang yang disayanginya telah dia pastikan akan bahagia walaupun tak ada dia di sisi mereka. Kini dia ingin memejamkan matanya dan menikmati ketenangan dalam dekap kasih sayang yang Maha Pemilik Cinta.
Oleh : Revika Rachmaniar
I would definitely use your suggestion of removing the insole. Doing this wo&n28#17;t compromise the structure or design of the shoe during walking or exercise and will provide extra depth to the midfoot. You can also try skipping the lacing over the highest point of your arch. If these two methods still don’t alleviate the pressure, then a trip to the running shoe store to find a deeper shoe would be in order.