Balada Pohon Sukun

Balada Pohon Sukun

1210-1-1Tapi, Bu, Kita nanti bisa membeli tanah untuk ladang apotek hidup seperti disini, ya ‘kan?” lanjut Salim dengan nada penuh pengharapan pada ibunya yang sedang asyik mengunyah seupah1).

“Sudahlah, ibu sudah tua, tak perlu kau khawatirkan. Pikirkanlah anak istri dan karirmu itu,” jawab ibu dengan nada datar, bahkan terkesan sinis.

Salim akhirnya diam. Sudah dia duga sebelumnya bahwa perdebatannya dengan ibunya tidak dimenangkan olehnya. Ibunyalah yang akan menang. Dialah yang akan mengalah. Selalu seperti itu, sejak dulu, sejak ayahnya masih hidup.

Salim bekerja di salah satu industri obat terbesar di Bandung yang memproduksi obat anti-kanker dari bahan kimia yang bahan bakunya di impor dari Jepang. Salim sudah bekerja selama sepuluh tahun sejak lulus sarjana farmasi, apoteker dan magister farmasi.Dia mengabdi di industri tersebut hingga mencapai posisi manager.

Perjalanan karir Salim memang layak diacungkan jempol dari segi kesetiaan dan keuletannya terhadap perusahaan. Salim juga merupakan salah satu pegawai yang terjun langsung dalam berbagai penelitian dari bahan baku impor tersebut terhadap penyakit mematikan itu. Penghargaan demi penghargaan yang dia dapatkan secara otomatis telah mengharumkan namanya, perusahaannya, keluarganya, dan terutama orangtuanya yang sudah sangat berusaha menyekolahkannya hingga ke jenjang pendidikan yang dapat diraihnya. Sekalipun demikian, kehidupan Salim yang bergelut dengan senyawa kimia, produk impor, dan penelitian canggih, tidak menjadikan orang tua Salim lantas menjadikan pengobatan modern sebagai pilihan pengobatan.

Sebagai orang yang lahir dan tinggal di daerah perkebunan, kedua orang tua Salim sangat percaya akan pengobatan herbal yang diwariskan secara turun-temurun (empiris). Mereka berharap Salim dapat membuat obat dari bahan herbal, atau melakukan penelitian terhadap yang akhirnya menjadikan bahan-bahan alam Indonesia memiliki nilai jual yang lebih tinggi, atau minimal membuat kedai jamu di kampung halamannya sendiri, bukan menjadi orang kaya yang berkutat dengan bahan baku kimia yang sudah jelas-jelas banyak efek sampingnya. Orang tua Salim berpendapat bahwa obat apapun yang berbau bahan kimia adalah berbahaya.

Paradigma yang sudah melekat kuat pada orang tuanya itu membuat hubungan Salim kurang harmonis dengan orang tuanya. Padahal Salim sudah sangat mapan, dia bisa membiayai hidup kedua orang tuanya, menyejahterakan kehidupan orangtuanya, tetapi semenjak Salim bekerja di industri obat kimia, mereka benar-benar kecewa terhadap Salim. Oramg tuanya berharap Salim dapat hidup mandiri dengan tingginya pendidikan dan banyaknya pengalaman yang telah dia dapatkan selama ini.

Salim, sudah berkali-kali menjelaskan kepada kedua orangtuanya, membuka pikiran mereka mengenai paradigma-paradigma kuno mereka terhadap bahan kimia dan pekerjaannya yang sekarang. Tetapi, itu tak membuahkan hasil apapun. Salim kini dipandang egois dan hanya memperkaya negeri orang dengan impor bahan baku dari luar negeri. Bahkan Salim disebut sok pintar karena sudah menjelaskan hal-hal yang percuma bagi kedua orang tuanya yang tidak mengerti tentang kimia, struktur, mekanisme kerja, reaksi dan lain-lain. Mereka justru merasa tersinggung ketika Salim mencoba menjelaskan apapun tentang pekerjaannya, tentang obat bahan kimia, mereka selalu merasa dibodohi oleh anak satu-satunya itu. Hingga Salim menyerah menjelaskan dan mengambil hati kedua orang tuanya, dan memilih untuk bertahan di perusahaan yang menjanjikan jaminan hidup dan kesejahteraan ekonomi. Dia tinggal di Bandung dengan istri dan anak perempuannya. Bahkan, ketika ayahnya jatuh sakit dan di vonis mengidap kanker stadium tiga, Salim tetap tak berhasil merubah paradigma mereka terhadap pengobatan modern.

Karyanya yang dia rintis dan sudah menyembuhkan banyak orang dalam melawan penyakit kanker itu tak dapat mengubah pola fikir orang tuanya dan keadaan ayahnya yang saat itu semakin parah melawan kanker, hingga sebulan yang lalu ayahnya meninggal dunia. Entah salah siapa. Salim merasa lebih baik menyalahkan dirinya sendiri, walau dia sudah berusaha semampunya.

 “Bu, Salim ini seorang farmasis, pembuat obat, meneliti kanker, sudah lulus S2 dan kini bekerja di pabrik obat yang membuat obat kanker yang sudah teruji khasiat dan keamanannya, apakah ibu tetap tidak percaya pada perusahan? Atau paling enggak, ibu nggak percaya sama Salim, anak ibu sendiri?” rajuk Salim sekuat tenaga, sekuat menahan air matanya, sekuat dia membujuk ibunya agar dapat mengijinkannya untuk memberikan obat anti-kanker yang diusulkan dokter, serta segala macam terapi penunjangnya.

“Sudah, tak perlu, ramuan ini sudah cukup membuat ayahmu kuat. Dia pasti sembuh! Bawa pulanglah obat racikanmu itu, jual ke dokter-dokter di kota, kamu pasti kaya.”

 “Bu!!”

Istri Salim, Marwah, langsung membawa suaminya itu pergi meninggalkan ibu, sebelum emosi Salim melunjak. “Sudah, Mas, sudah,” kata Marwah sambil mengusap punggung Salim. Salim hanya bisa menahan emosinya, mukanya merah, dia merasa diremehkan ibunya sendiri, tetapi dia tak bisa melawan ibunya walau sekedar menghardiknya. Dia tahu begitu mulianya seorang ibu.

“Aku tahu, Sayang, ramuan jamu dari buah Sukun memang dapat menyembuhkan penyakit ayah. Tetapi, kondisi ayah sudah benar-benar kritis, dia sudah stadium tiga, atau mungkin sudah stadium akhir,” lirih Salim kepada istrinya.

“Sssttt, Sayang, jangan bicara seperti itu, kita doakan ayah pasti sembuh, bukannya sugesti lebih kuat untuk menyembuhkan? Ayah sepertinya percaya penuh bahwa ramuan yang dibuat ibu itu akan menyembuhkannya.” Kata Marwah pada Salim dengan senyuman dan nada menenangkan.

“Salim terdiam”.

Marwah terus mengusap punggung Salim. Dia tahu persis, suaminya pintar, prestasinya dalam pekerjaan dalam membuat penelitian obat anti-kanker sudah tak diragukan lagi. Salim sering bercerita banyak hal tentang penelitiannya walau Marwah kadang pusing tak mengerti, tetapi tetap setia mendengarkan dengan antusias, memberikan dukungan penuh, itulah yang membuat Salim selalu bersemangat bekerja. Tetapi, apa boleh buat, keras kepala kedua orang tuanya tak bisa dia kalahkan. Mereka percaya bahwa bagian dari buah Sukun dapat menyembuhkan kanker, bahkan Salim mengiyakan hal itu karena sudah ada penelitiannya. Tetapi, obat yang dibuat Salim dari bahan kimia itu lebih baik dibandingkan obat tradisional karena pertimbangan dosis dan mekanisme kerja obat kimianya itu

 “Percuma kau tunjukan puluhan piagam penghargaan dalam penelitianmu itu jika ujung-ujungnya adalah sugesti yang dapat menyembuhkan orang sakit kanker,” bentak ibu. Dia mengetahui bahwa yang mengidap kanker stadium akhir itu harapannya kecil, hanya diberi obat penghilang rasa sakit,plasebo2), dan berbagai metode dengan biaya yang mahal, ujung-ujungnya adalah sugesti dan semangat hidup yang dapat menyembuhkan. Ibu mengetahui hal itu. Sejak percakapan Salim dengan dokter Han, dia adalah dokter yang mengurus ayah ketika dibawa kerumah sakit beberapa bulan terakhir sebelum kematiannya, ibu mendengarkan dibalik pintu ruangan pasien yang ditempati ayah, begitu jelas. Kata plasebo atau obat tanpa bahan aktif membuat ibu tak mau membawa suaminya ke dokter dan ke rumah sakit lagi, bahkan memakan obat anti-kanker dari bahan kimia buatan anaknya sendiri pun sudah tak ia percayai. Paradigma terhadap plasebo, membuat ibu rajin mengurus pohon Sukun di halaman rumahnya, meracik sendiri jamu buah Sukun untuk suaminya.

Plasebo. Plasebo. Plasebo. Sugesti. Sugesti. Sugesti. Semua itu selalu terngiang dalam benak ibu, hingga ibu merasa sudah salah menyekolahkan anaknya ke jurusan farmasi. Padahal banyak yang ibu tidak tahu, ibu hanya butuh waktu dan pikiran terbuka untuk menerima semua penjelasan dari Salim. Salim tahu betul ibunya pintar, tetapi disaat seperti ini membuat ibu merasa tak butuh waktu lama berpikir, hanya butuh meracik, meracik, meracik dan memberikan ramuan racikannya itu pada ayahnya. Pada akhirnya, sebagai anak yang begitu menghormati ibunya, Salim hanya bisa berdoa dan pasrah.

“Obat Salim bukan plasebo, Bu!”

“Terus apa? Bahan Kimia? Yang banyak efek sampingnya itu?”

“Semua obat ada efek samping, bahkan obat tradisional sekalipun, Bu!”

 “Kau tak perlu membodohi ibu, Salim!”

  Salim diam. Waktunya mengalah. Selalu begitu jika berdebat dengan ibu.

Kepergian ayah, membuat ibu seperti kosong melongpong. Jiwanya entah kemana. Setiap hari hanya duduk di kursi di bawah pohon Sukun, menatap kosong gunung Galunggung yang terpampang jelas sejauh mata memandang dari teras rumah. Salim dan istrinya sudah menyerah untuk membujuk ibu tinggal di Bandung, meninggalkan kampung Salopa kawasan perkebunan karet Bagjanagara – Tasikmalaya.

“Rumah ini, sudah menjadi bagian dari tubuh ibu Salim. Percuma kau bawa ibu ke Bandung, jiwa ibu tetap disini.

Salim termenung. Prestasi dalam pekerjaannya terasa hampa tanpa dukungan dari ibunya. Bahkan karyanya tak dapat mengobati penyakit ayahnya, walau sudah menyembuhnya banyak penderita kanker diluar sana. Tetapi ayahnya menjadi korban penyakit mematikan itu tanpa mampu dia bantu melawan penyakit ganas itu.

“Kami akan sering datang kemari untuk menjenguk ibu.” Kata Marwah.

“Pergilah. Jaga cucu ibu,” kata ibu sembari mengecup cucunya yang sudah satu tahun itu.

Salim, Marwah beserta Salwa pun meninggalkan ibunya, sendiri, bersama pohon Sukun dan kenangan bersama ayah.

“Maafkan Salim, Bu,” lirih Salim

 “Sudah. Kau tak salah,” jawab ibu. [ ]

1)Seupah (Bahasa Sunda): campuran daun sirih dan kapur guna menguatkan gigi dan menyehatkan mulut; secara empiris/turun temurun

2)Plasebo : istilah medis untuk terapi baik dalam bentuk obat-obatan maupun prosedur-prosedur medis tidak memiliki bukti kegunaan untuk kesembuhan pasien.

Oleh: Sri Wahyuni

Cerpen Kampus