Si Imut yang Berguna

Si Imut yang Berguna

            “Arghhhh…” seketika aku terbangun dari lelapnya tidur.

            “Tidak..tidak..tidaaakk.. Hal itu tidak boleh terjadi“. Tubuhku berkeringat, mataku terbelalak, jantungku deras berdetak. “Mimpi macam apa itu?”, sempalku sambil melihat keluar jendela, terlihat para tikus sudah mulai sibuk dengan pekerjaan rutinnya.

            “Aku harus bersiap, hari ini aku akan mendapat pekerjaan baru”. Aku bergegas ke kamar kecil dan berusaha melupakan mimpi semalam.

***

            Hay.. namaku Martin. Aku tikus kecil putih spesies Mus musculus dan manusia sering menyebutku dengan sebutan mencit. Entah apa yang ada di pikiran mereka, sebenarnya kami pun ingin dipanggil dengan sebutan nama kami masing-masing sama seperti saat mereka memanggil satu sama lain.

            Hari yang cerah, pagi ini akan kutemui pak Toni, seekor tikus hitam jantan untuk bekerja di toko materialnya. Kami hidup dalam sarang besar yang disebut Black Hole, memiliki akses labirin yang luas dan penghuni tempat ini mencapai 2000 ekor tikus. Hanya jenis tikus got dan tikus kecil saja yang hidup disini. Sebagian dari mereka berbulu coklat dan hitam, kecuali aku yang berbulu putih.

            Teman-teman selalu mengejekku, mereka bilang aku tidak pantas ada dalam tanah, tikus sepertiku lebih cocok dijadikan tikus percobaan yang biasa hidup didalam laboratorium sebagai objek penelitian. Sebenarnya hal inilah yang selalu menjadi mimpi buruk di setiap malamku. Seekor tikus percobaan pasti berujung pada kematian. Oleh sebab itu, sampai saat ini aku enggan bertemu manusia.

            “Hoooy Martin! awaaass.. jauhi daerah itu!”. Teriak Roy, temanku yang membuyarkan hayalanku di persimpangan jalan.

            “Apa Roy? aku tidak mendengarnya”.

            “Awaaassss…!!!”. Seketika goncangan terjadi. Ada apa dengan tanah ini? atap sarang kami terbuka, semua tikus berhamburan ke ruas-ruas jalan meninggalkan sarang.

            “Sarang ini akan hancur!” teriak mereka dengan histeris.

            “Martin! apa yang kau lakukan? cepat lari!” Roy kembali berteriak kepadaku. Apa yang harus kulakukan? aku belum pernah ke dunia manusia sebelumnya. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi? bagaimana jika mimpi itu benar-benar terjadi? bagaimana jika aku menjadi tikus percoban? jerit ku dalam hati sambil teruss berlari kencang, tak peduli kemana arah tujuan. Sampai akhirnya, aku tiba di depan sebuah bangunan yang sangat tinggi.

            “Tempat apa ini? hebat sekali gedung ini”. Disaat aku asyik mengagumi bangunan ini, tiba-tiba ada seorang manusia melewati ku. Dengan sigap aku bersembunyi di balik sebuah tiang. Lalu perlahan-lahan aku masuk ke dalam gedung.

            “Gawat! banyak sekali manusia disini”. Mereka berpakaian serba putih, sarung tangan karet dikedua tangan dan masker berwarna hijau menutupi sebagian wajah mereka. Perasaan ku mulai tak enak.

            “Aku harus cepat keluar dari sini”. Baru saja aku akan melengos pergi, seketika seseorang menarik ekor ku.

            ”Kena kau!”. Seru seorang manusia berpakaian putih.

            “Tidaaak, apa-apaan ini? tolong lepaskan…Ya Tuhan tolong aku..” Tubuhku meronta-ronta berusaha melepaskan diri. Tanpa pikir panjang, kugigit tangan manusia ini. Saat pegangannya pada ekorku melonggar, aku pun berlari menelusuri koridor.

           “Ya ampun..” Seketika langkahku terhenti melihat puluhan tikus terkurung disebuah kandang. “Apa yang mereka lakukan disini?” Gumamku dalam hati.

***

            Tap tap tap..

            Derap langkah seorang manusia semakin mendekat. Aku mulai panik karena sudah pasti suara ini berasal dari manusia yang tadi menangkapku. Tanpa pikir panjang, aku pun segera menghampiri tempat dimana teman-temanku dikurung. Tubuhku berusaha mengangkat penutup kandang dan mulai masuk ke dalamnya.

          “Wohooo berhasil… permisi tuan dan nyonya..” Sapaku sembari menjejalkan tubuhku kedalam kandang yang sesak ini.

            “Aduh disini sempit sekalii.. Aww! Hey kau jangan injak ekorku”. Teriakku sambil berusaha melewati kerumunan.

            “Hey nak siapa kau? wajah mu asing disini”. Ujar seekor tikus jantan putih yang memiliki luka dipipinya. Seketika suasana hening. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri bingung. Siapa yang ia ajak bicara?

            “Aku? kau bicara padaku?”. Telunjuk kuarahkan kepada diriku sendiri.

            “Baiklah saudara-saudaraku, perkenalkan namaku Martin sang tikus tanah yang kuat, berani dan tidak terkalahkan”. Kemudian aku hanya mendengar tawa dari semua penghuni kandang.

             “Ayolah kawan, ini bukan lelucon”.

            “Kau memiliki selera humor yang tinggi, sedang apa kau disini, kau mengajukan diri sebagai tikus percobaan?”. Tanya tikus jantan tadi.

            “Apa? tikus percobaan? jadi kalian semua?”

            “Ayolah jangan konyol, kau pikir kami di sini sedang melakukan apa?”. Terlihat oleh ku tikus jantan ini tersenyum sinis kepada ku.

***

            Sementara diluar kandang, manusia berbaju putih tadi berjalan mendekati kandang. “Ahh lupakan tikus kecil tadi, mungkin teman yang lain akan menemukannya”.

        “Hey kalian para tikus, siapkah untuk eksperimen kali ini?”. Ujar manusia ini sambil mengangkat kandang. Ia pun berjalan menuju sebuah ruangan, diletakannya kandang tikus diatas meja. Terlihat sebilah pisau bedah, jarum, gunting, dan beberapa larutan berbau. Ruangan ini dipenuhi dengan alat kaca, tertutup rapat dan tidak ada celah kecuali ventilasi udara tepat diseberang atas meja.

***

       “Iya, kami semua adalah tikus percobaan, kami dilahirkan di dalam ternak tikus milik laboratorium. Sudah tugas kami untuk membantu para manusia dalam melakukan penelitian. Kami tidak malu atau takut, justru kami bangga sisa hidup kami dapat bermanfaat untuk kebutuhan manusia, kami rela berkorban untuk kepentingan semua manusia”. Sekali lagi, tikus jantan tadi yang berbicara.

            Aku hanya diam tertegun, tanpa sadar air mata menetes dipipi ku. Kini aku sadar, tak ada yang salah dengan ejekan teman-teman ku. Semua ini adalah takdir, kami diciptakan untuk membantu umat manusia, meskipun nyawa sebagai taruhannya. Dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa bangga kepada mereka yang mau berkorban demi semua makhluk hidup, rela mati demi mereka yang akan sembuh, dan aku bangga menjadi salah satu bagian dari mereka.

Penulis,

Fauzia Dwi Sanjaya

Cerpen