Teknologi dapat Menjadi Tempat Penyebar Hoax

Seluruh dunia digegerkan dengan adanya virus Corona semenjak tahun 2020 lalu. Hampir semua aktivitas yang biasa dilakukan setiap harinya mulai hilang satu persatu. Apalagi, dengan adanya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM yang merupakan salah satu kebijakan dari pemerintah untuk mengurangi rantai penyebaran COVID-19 di Indonesia. Di sisi lain, teknologi digital semakin berkembang pesat saat pandemi. Teknologi digital ini menuntut kita untuk mampu beradaptasi terhadap perkembangannya yang tergolong semakin canggih. Jika kita tidak dapat beradaptasi dengan perkembangan teknologi sekarang, banyak yang berkata bahwa kita akan gagap terhadap teknologi tersebut. Namun, kita juga harus banyak memperhatikan dampak positif dan negatifnya. Seperti di masa pandemi ini, banyak sekali penyebaran hoax yang tersebar melalui teknologi digital, apalagi melalui pesan singkat yang sedang ramai diperbincangkan.
Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia mencatat jumlah pengguna di Indonesia mencapai sekitar 132,7 juta orang dan 800.000 situs di Indonesia terindikasi sebagai penyebar hoax. Tentunya penyebaran hoax ini banyak menimbulkan keresahan pada kalangan masyarakat, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan tentang COVID-19. Vaksin contohnya, sejak ada informasi tentang keberadaan vaksin COVID-19 di Indonesia, banyak sekali isu-isu yang bertebaran, mulai dari bahan kandungan vaksin sampai proses distribusi yang menjadi rasa ketakutan tersendiri dalam masyarakat.
Masyarakat perlu dibimbing untuk mengetahui mana berita yang benar dan yang palsu. Karena dari turun temurun, masyarakat Indonesia mudah sekali menerima berita tanpa mengetahui keasliannya. Semua masyarakat Indonesia diwajibkan untuk vaksin karena dapat mencegah penularan penyakit dan dapat membuat badan menjadi kebal.
Dengan maraknya hoax, pemerintah pun sudah berusaha semaksimal mungkin untuk memberantas berita hoax. Jikalau pun masyarakat menemukan berita hoax, bisa dilaporkan ke penegak hukum, dan pembuat berita atau penyebar berita tersebut bisa saja dijerat dengan Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik dan KUHP. Pada pasal 45A ayat (1) UU ITE disebutkan, setiap orang yang sengaja menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik bisa dikenakan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda maksimal 1 miliar. Selain itu, pemerintah memblokir situs-situs yang sekiranya dianggap sebagai penyebar berita hoax.

Bahaya dari hoax saat pandemi ini juga banyak sekali, salah satunya bisa berujung pada pembunuhan karakter. Dengan banyaknya berita yang tersebar, orang-orang yang menyalahgunakan ini dapat merusak orang lain. Namun, sebanyak apapun pemerintah membasminya, jika masyarakat itu tidak mau merubah pola pikirnya juga sama saja.
Maka dari itu, edukasi kepada masyarakat sangatlah penting untuk memerangi berita hoax terutama yang tersebar pada media sosial. Terutama untuk para orang tua atau lanjut usia. Kita sebagai generasi penerus, harus bisa mengedukasi secara langsung. Edukasi diperlukan secara terus menerus hingga orang-orang sudah cukup memiliki pemahaman mengenai hoax.
Kita sebagai masyarakat harus bertanggung jawab, bukan hanya kepada diri sendiri saja, tetapi kepada orang lain. Apalagi, di masa pandemi seperti ini, kita harus menganalisis mulai dari asal muasal dari berita, memastikan tanggal penyebaran berita, jika perlu kita bisa bertanya kepada pihak yang terkait, dan kita juga memiliki internet atau situs dari Kementrian Komunikasi dan Informasi yang dapat dimanfaatkan untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya. Tentunya kita harus berhati-hati dalam mendapatkan berita. Sebarkan berita yang benar dan juga akurat. Mari kita gunakan prinsip saring berita sebelum di-sharing!
Penulis : Rizka Zaidah Mawlidiyah
Editor : Amanda Tri Kartika